Bagaimana Hukumnya Tradisi Massanra/Mappasanra Galung

TANYA, MUIsulsel.com — Bagaimana hukum “Massanra/Mappasanra Galung” tradisi yang mayoritas dilaksanakan oleh masyarakat di kampung kami.

Contoh si A meminjam uang Rp 50 juta kepada si B dengan jaminan 1 ha sawah yang dia miliki, dengan kesepakatan si B boleh menggarap sawah tersebut dan uangnya nanti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kepada si B.

Nah bagaimana hukumnya ini apakah termasuk riba atau tidak, padahal sudah ada kesepakatan. Ada juga beberapa tokoh agama yang melakukan ini.

— Dari Hamba Allah

JAWAB : “Massanra Galung” dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan masuk dalam kategori akad gadai atau al-rahn.

Al-Rahn adalah suatu akad hutang piutang dengan orang yang berhutang menyertakan suatu barang untuk dipegang oleh orang yang berpiutang (murtahin) untuk memberikan rasa aman bagi orang yang memberikan hutang.

Perbuatan gadai ini telah mendapat legalisasi dari Alquran sebagaimna yang terdapat dalam surah Al-Baqarah:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang). QS Al-Baqarah : 283.

Karena itu keseluruhan ulama telah bersepakat (ijmak Ulama) bahwa gadai adalah perbuatan yang dibolehkan di dalam Islam.

Gadai adalah perbuatan yang dibolehkan dalam rangka untuk memudahkan hubungan antar manusia.

Namun ulama sepakat bahwa orang yang menerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian itu.

Hal itu didasarkan bahwa di dalam gadai akad pokoknya adalah hutang piutang, dan di dalam hutang piutang asas yang berlaku adalah tolong menolong (ta’wun) bukan mencari keuntungan (tanpa pamrih).

Jumhur ulama Hanafiah, Syafiiyah dan Malikiyah mengatakan tidak bisa memakai barang digadaikan oleh penggadai. Bahkan dikatakan hukumnnya haram dan termasuk merampas barang gadaian berdasarkan dalil dalil Al-Quran dan Hadits.

Mengambil keuntungan dengan memanfaatkan barang gadaian adalah suatu transaksi ribawi. Hak atas hasil dari barang gadaian tetap menjadl milik si punya barang. Pemanfaatan terhadap barang gadaian dipandang sebagai penambahan di dalam hutang atau riba.

Menurut Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan bahwa jika barang gadaian itu berupa kendaraan yang dapat dipergunakan untuk atau berupa binatang termak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai itu.

Pengambilan manfaat itu sifatnya adalah terbatas. Pengambilan itu harus disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang itu ada padanya.

Pemanfaatan sawah dan kebun yang telah di “sanra” bisa dilakukan dengan asas termasuk sebagai pengurang utang, sehingga manfaat yang didapatkan dari sawah dan kebun tersebut harus diperhitungkan sebagai pengurang utang.
Wallahu A’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.