Etos Kerja dalam Perspektif Alquran dan Sunnah

Jakarta, muisulsel.or.id – Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan (MUI Sulsel) Prof Dr H Muammar Bakry di penghujung bulan Syawal mendapat kesempatan untuk menyampaikan khutbah di Masjid terbesar di Indonesia, Masjid Istiqlal di Jakarta. Dalam kesempatan kali ini, Etos Kerja menjadi pembahasan yang diulasnya selama kurang lebih 20 menit, Jumat (26/04/2024)

Dalam khutbahnya diungkapkan bahwa Survei 2021 yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa tingkat daya saing tenaga kerja di Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara lainnya, tingkat daya saing tenaga kerja Indonesia berada di posisi 37 dari 60 negara.

Kita maklum bahwa populasi tersbesar muslim di dunia adalah Indonesia yang mencapai 87% sekitar 278 juta orang. Artinya, muslim di Indonesia menjadi representatif sebagai sample utama dalam menggambarkan tentang Indonesia, termasuk dalam hal etos kerja. Dengan kata lain, jika Indonesia berada pada posisi menggembirakan dalam survei indeks prestasi dunia maka umat Islam yang punya peran aktif bagi Indonesia, demikian pula sebaliknya.

Jika demikian, mana letak masalahnya? Apakah karena umat Islam konsisten dengan pengamalan agamanya atau tidak? Mari kita mencoba melihat konsep etos kerja dalam Islam. Bagaimana kiat menjadi hamba yang beretos kerja tinggi.

Berangkat dari ayat 30 QS. Al-Baqarah, bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.

Makna “khalifah” berakar dari kata  خلف، يخلف، خلافةً، أي بقي بعده أو أقام مقامه, yang berarti berperan setelahnya dengan menggantikan atau melanjutkan posisinya.

Bumi hanya dapat dimakmurkan oleh manusia yang mendapat tugas sebagai khalifah, sekalipun potensi kerusakan bumi datangnya juga dari ulah tangan manusia. Regenerasi dan sustainabilty kehidupan bumi dan mengatur kemaslahatan manusia dan lingkungannya adalah implementasi dari peran khalifah yang diemban oleh makhluk manusia bukan makhluk lainnya seperti malaikat, jin, dan lainnya.

Inilah akumulasi ibadah yang sifatnya opsional عبادة تراكمية اختيارية yang menjadi pilihan manusia secara sadar dalam mengemban amanah yang diberikan padanya, tak ada makhluk yang dapat memikulnya kecuali manusia yang disinyalir dalam al-Qur’an Surah Al-Ahzab ; 27

﴿إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا﴾

(bahwa bagi yang mengabaikan amanah khilafah) ia adalah menganiaya dirinya (dzolim) dan bodoh.

Allah SWT menilai aktifitas manusia sebagai pengabdian kepada-Nya, manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dalam Batasan itulah manusia diberikan kehidupan yang layak sebagaimana QS. Al-Nahl:97

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka niscaya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri akhir dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Lebih lengkapnya dapat dilihat pada video di bawah ini berikut konsep khutbahnya

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.