Makassar, muisulsel.com –
مَن رَأَني في المنامِ فسيراني في اليَقَظَةِ . أو لكأنما رآني في اليَقَظَةِ ، ولا يَتَمَثْلُ الشيطانُ بي.
Siapa yang melihatku dalam tidurnya akan melihatku dalam keadaan sadar atau seakan melihatku dalam keadaan sadar, sebab syaitan tak bisa menyerupaiku
Informasi tentang mimpi bertemu Rasulullah saw adalah informasi yang absah dan valid. Mimpi bertemu Rasulullah saw adalah salah satu nikmat dan anugerah bagi yang mengalaminya. Mimpi itu dapat menjadi petunjuk bagi yang mengalaminya. Demikian pandangan yang disepakati para ulama.
Ibnu Sirrin salah seorang ulama klasik yang menulis buku khusus tentang ta’bir mimpi menyatakan bahwa mimpi bertemu dengan orang-orang shaleh, khususnya Rasulullah saw adalah mimpi yang benar. Meski demikian, apa yang terjadi di dalam mimpi tersebut tidak dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan hukum.
Hal itu dinyatakan oleh para Faqih, semisal imam Al Gazali, Ibnu Qayyim, ulama empat mazhab, para tokoh ulama aqidah al Asy’ariy dan al Maturidiy. Mereka menegaskan bahwa mimpi bertemu Rasulullah saw tidak dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum halal dan haram. Mimpi yang dialami seseorang saat bertemu dengan Rasulullah saw juga tak dapat dijadikan patokan dalam menilai benar tidaknya iman seseorang.
Demikian pula mimpi bertemu Rasulullah saw tidak dijadikan sebagai landasan dalam memaknai tafsiran dan pemahaman sebuah ayat Al-Quran. Alasannya adalah bahwa informasi yang diperoleh dari mimpi tidak dianggap sebagai penukilan secara talaqqiy dari Rasulullah saw dan dari sisi validitas, informasi yang diperoleh dari mimpi tidak dapat diuji secara empirik.
Namun ada sedikit perbedaan antara ulama Fiqhi dan ulama Tasawuf terkait informasi yang diperoleh dalam mimpi saat bertemu Nabi saw. Ilmu tasawuf yang banyak menggunakan isyarat batin dan tidak hanya terpaku pada hal-hal yang lahiriah menganggap bahwa informasi yang diperoleh oleh seorang mursyid dapat dinukil kepada murid.
Penerimaan murid terhadap informasi mimpi yang datang dari mursyidnya dapat dipercayai karena murid paham dan mengenal betul akhlak kejujuran sang mursyid. Meski demikian informasi seperti itu tetap tak dapat dijadikan dasar dan landasan hukum terkait masalah Halal dan Haram.
Umar bin Khattab ra berkata, “Lihatlah dari siapa engkau mengambil ilmumu”. Hal ini bermakna bahwa hal-hal yang terkait dengan hukum, perlu melalui hasil telaah yang mendalam. Ucapan benar seseorang tetap perlu ditelusuri dan diuji. Penting pula melihat apakah amalan sang penyampai informasi, sesuai dengan amalan yang diajarkan oleh Allah dan rasulNya.
Sebuah ungkapan yang sering dinukil yang dinilai bersumber dari Umar ra dan Ibn ‘Abbas ra adalah: “Inni la attahimuka walakin uriiduu an ata-tsabbata”. Aku bukan meragukan atau menuduhmu, namun aku butuh kepastian sumbernya.
Mimpi bertemu dengan Nabi saw, serta informasi yang diperoleh dari mimpi itu sifatnya khusus kepada yang bermimpi atau kepada komunitasnya. Sifatnya khusus dan tidak umum yang harus dipatuhi oleh umat. Apa yang dapat diterima sebagai pijakan hukum adalah sesuatu yang didasarkan pada maa nukila ‘anil adlil tsabit ila muntahahu (apa yang disampaikan oleh orang yang adil dan kembali kepada sumbernya).
Dalil yang dimaksud bukan hanya AlQuran dan sunnah saja tetapi termasuk turunan dalil dari AlQuran seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab, mazhabu shahabah, saddu zariah dan maslahat mursalah. Semua ini tetap menjadi pijakan. Karena itu, hukum-hukum tertentu di zaman modern ini tetap harus merujuk pada fatwa-fatwa lembaga yang didalamnya berkumpul para alim ulama, seperti, Daarul Ifta’ al Mashriyah (Mesir), Mujamma’ul Fiqhi Yordania (Jordan), Mujamma’ul fiqhi Jeddah (saudi arabia), Damaskus, AlJazair dan sebagainya, terutama untuk wilayah Indonesia adalah MUI. Semua ini merupakan sumber hukum yang disepakati.