Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar, muisulsel.or.id – Perintah untuk menikahkan yang belum menikah, baik dari kaum lelaki maupun perempuan, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk membantu menikahkan putra- putrinya dan mereka, kedua mempelai, yang menjadi tanggungannya untuk dibantu dinikahkan. Allah Swt berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ( QS An-Nur:32), “.
Perilaku para sahabat nabi saw adalah menikahkan putri-putrinya yang sudah dewasa atau yang menjanda, tersebut bahwa Umar bin Khattab menawarkan Hafsah putrinya untuk dinikahi oleh Abu Bakar ketika Hafsah binti Umar menjanda, maka Abu Bakar menolaknya dengan halus karena Abu Bakar faham bahwa Hafsah itu akan segera dinikahi oleh Nabi Muhammad saw.
Menikahkan itu adalah kesadaran di atas rata- rata bagi manusia, karena orang pasti berpandangan bahwa jika yang dinikahkan itu sukses membangun rumah tangga maka orang yang menikahkan itu telah membentuk fondasi masyarakat yaitu tersebarnya manusia dan bertambahnya komunitas.
Kata nikah berasal dari bahasa Arab yaitu; nikahun artinya menyatukan, ada juga kata zawaj artinya mendamping dua yang berpasangan.Pasangan dalam bahasa Arab disebut zaujun, jamaknya azwajun. Nikah artinya menyatukan kedua belah pihak dalam kesepakatan dan dalam kehidupan dihadapan Allah Swt, zawaj artinya mendampingkan dua yang berpasangan, yang tidak bisa tegak kecuali ada pasangannya. Dua kata inilah yang absah digunakan dalam akad nikah menurut pandangan jumhur ulama berdasar pada :
فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا﴾ [ الأحزاب: 37]
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, “.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, “.
Nikah dimulai dari adanya akad yang berarti ikatan, ijab kabul berupa pengikatan, hal mewajibkan jawaban dari pasangan itu, jawaban berarti ada persetujuan minimal berupa ucapan yaitu qobiltu hal berarti penerimaan. Bila persetujuan sudah ada maka lelaki yang berucap qabul itu memulai tanggung jawab di hadapan Allah dan manusia, tanggung jawab berupa penyatuan dan pendampingan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Pernikahan itu sakral karena disaksikan oleh Allah Swt dan para malaikat, disaksikan pula oleh banyak kalangan, karena pernikahan itu wajib, pelaksanaannya dihadiri banyak orang, karena nikah menghalalkan hal yang haram, dan mengharamkan hal yang halal. Diantara hikmahnya adalah memberi ketentuan tanggung jawab penyatuan dan pendampingan dengan mempertautkan shillatur rahim diantara sesama manusia.
Dalam salah satu penjelasannya Prof Quraish Shihab mengatakan : “Perkawinan yang sukses menurut para ulama ada 5 hal : Kedua belah pihak faham kalau pasangannya itu sama-sama hidup karena ia bergerak, tahu dan berperasaan.Kedua belah pihak faham kalau mereka sama-sama manusia, yaitu; mulia dan dimuliakan oleh Allah dan manusia.Manusia itu dimuliakan Allah Swt walau manusia itu ingkar, syirik, bahkan ia wafat Ia tetap dihargai keberadaannya atau kematiannya oleh Allah swt.Keduanya sama- sama mencintai, saling mencintai atau setuju dicintai.Sama-sama dewasa : dewasa artinya tahu tanggung jawab, dan bisa menyelesaikan tanggung jawab dan perkara bila ada diantara mereka.Kedua belah pihak paham mereka itu berbeda, satu lelaki, satu wanita,
Menurut Imam Ali Karromallahu Wajhah bahwa ada tiga sifat yang baik bagi lelaki tetapi bila tiga sifat itu dimiliki wanita, maka sifat itu buruk baginya:Berani bila lelaki itu berani dengan penuh perhitungan maka berani itu adalah hal yang sangat baik bagi lelaki, namun bila wanita itu telalu berani, maka ia menghilangkan sifat wanitanya yang selalu minta perlindungan fisik dan non fisik kepada suaminya.
Bila seorang lelaki suka memberi kepada keluarga istri dan keluarga sendiri serta kaum dhuafa maka Insya Allah ia akan dijamin oleh Allah rezekinya akan melimpah ruah. Sebaliknya seorang wanita tidak diperkenankan boros dan menghabiskan harta suaminya, ia harus mampu mengukur pengeluaran dan pemasukan,tidak boleh boros agar keuangan yang dihasilkan suaminya cukup untuk kebutuhan keluarga.
Merendah hati, suami yang baik adalah suami yang suka rendah hati kepada seluruh keluarga dan handai taulan, khususnya keluarga istrinya, agar ia tidak sombong sifatnya, dan ia membersamai keluarga dalam berbagai aktifitas, sehingga seorang suami tidak segan- segan mengerjakan perkerjaan wanita. Sebaliknya seorang wanita harus bermartabat tinggi yang menjunjung tinggi nilai-nilai harkatnya sebagai wanita dan sebagai istri, tidak diperkenankan rendah diri di masyarakat, ia harus mantap bangga menjadi istri yang bermartabat bagi suaminya.
Kesimpulannya adalah pernikahan hendaknya bercita- cita menjadi insan yang kuat beribadah dan berusaha karena keberhasilan hidup di dunia dan akhirat adalah bergerak, banyak ibadah dan bergerak, banyak berupaya. Wallahu A’lam.
Irfan Suba Raya