■ Oleh : Dr Muammar Bakry Lc MA, Sekretaris Umum MUI Sulsel
OPINI, muisulsel.com — Di banding negara-negara yang bergejolak seperti Syria, Yaman, Iraq dan beberapa negara tetangganya, Indonesia negara yang cukup aman melakukan berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan ibadah dengan nyaman dan merdeka.
Sekalipun heterogenitas Indonesia dengan kekayaan suku, bahasa, budaya bahkan agama jauh lebih kaya dibanding negara Arab, Eropa dan lain-lain.
Harmoni dalam perbedaan adalah kenikmatan yang sangat besar sebagai ikhtiar yang dilakukan oleh anak bangsa secara sadar dan bertanggungjawab.
Jika ikhtiar mulia itu lekang oleh waktu, tidak mustahil keindahan Indonesia hanya tinggal kenangan, akan berkeping-keping dengan berbagai latar belakang dan kepentingan.
Kondisi seperti ini adalah penyakit akut yang amat berbahaya, merusak sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan.
Lazimnya dalam ilmu kesehatan, Infeksi virus pada tubuh memicu respon kekebalan yang akhirnya dapat menimbulkan berbagai penyakit yang mengancam.
Perpecahan adalah penyakit bagi suatu bangsa dan negara yang boleh jadi bisa diawali dari virus Radikalisme.
Karena itu jenis virus ini harus diketahui agar dilakukan vaksinasi dari jenis virus yang sama. Dengan demikian, herd immunity akan terbentuk jika vaksinasi dilakukan dengan cermat dan tepat.
BNPT misalnya mengidentifikasi secara sederhana, 5 penyebab radikalisme dalam bidang dakwah, sekalipun beberapa pandangan baik lembaga nasional dan internasional keagamaan.
Maupun secara personal keulamaan seperti Syekh Ali Jum’ah menyebut tidak kurang dari 20 ciri radikal keagaamaan yang jika dirilis di Indonesia, pasti akan banyak “kebakaran jenggot“.
Hemat saya, lima ciri yang dirilis BNPT, tentu dikondisikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia dalam hal pencegahan terorisme. Mari kita cermati satu demi satu ciri-ciri tersebut.
Pertama, anti Pancasila. Virus ini sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia. Inilah konsensus utama yang dirancang founding father kita.
Di situ ada ulama yang yang mem-backup dengan menganalogikan Pancasila dengan Piagam Madinah. Khilafah dalam bentuk Republik dengan Pancasila sebagai dasar negara adalah final bagi bangsa Indonesia.
Adapun Khilafah dalam versi yang dipahami HTI dengan mengusung trans nasional, dikategorikan sebagai ideologi radikal yang bisa merusak persatuan bangsa.
Kedua, gemar menyalahkan hingga mengkafirkan, meskipun berbeda pemahaman. Fakta dakwah yang terjadi di mimbar masjid, musollah, kampus hingga layar medsos, bertebaran ajaran dan doktrin kelompok tertentu yang melawan mainstream keagamaan ulama Indonesia yang sudah mapan dalam kehidupan umat beragama.
Menyesatkan hingga mengkafirkan pandangan yang diperkuat oleh ulama menjadi pintu masuknya disintegrasi umat beragama.
Klaim kebenaran sepihak berdasarkan penafsiran keagamaan memicu konflik horizontal. Seharusnya pemikiran fikih yang relatif menjadi pencerahan bagi umat untuk menerima perbedaan.
Sepakat untuk berbeda menjadi imun yang amat diperlukan untuk merawat kebersamaan.
Ketiga, propaganda anti pemerintah melalui fitnah dan berita hoaks. Seharusnya mimbar dakwah digunakan untuk menyejukkan jamaah dalam menikmati hidupnya yang fana.
Namun realitasnya kadang mimbar dijadikan sebagai ajang memprovokasi masyarakat dengan menebarkan hate speech, berita hoaks dan lain-lain.
Mengeritik pemerintah secara konstruktif dan berakhlak adalah ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Propaganda dengan isu yang tidak valid adalah suatu kebohongan, sebagaimana yang tersebut dalam riwayat hadis, “Seseorang sudah dianggap sebagai pendusta jika menyebar apa saja yang dia dengar, (tidak menyaring sebelum men-sharing)“. Hadits Abu Huraerah.
Keempat, eksklusif, tidak terbuka terhadap perbedaan dan keragaman dalam kehidupan sosial masyarakat. Fenomena ini adalah dampak dari virus yang kedua di atas.
Merasa benar sendiri, merasa suci dari yang lain, dan seterusnya. Padahal Tuhan berfirman, “Janganlah kalian menganggap diri kalian suci, Dia yang mengetahui siapa yang paling bertaqwa“.
Kelima, membenci budaya dan kearifan lokal sekalipun budaya tersebut tidak bertentangan dengan nilai agama. Virus ini juga tak kalah bahayanya dibanding sebelumnya.
Atas nama pemurniaan agama, slogan kembali kepada Al-Quran dan Hadits saja adalah kalimat yang sepintas sangat menarik, tapi jika dipahami secara radikal, sesungguhnya banyak meruntuhkan bangunan keislaman yang sudah dibangun para ulama.
Mereka lupa bahwa sumber Islam bukan hanya Al-Qur’an dan Hadis saja, tapi juga ijma’ ulama. Apa yang dianggap baik oleh orang muslim, maka Allah pun melihatnya sebagai kebaikan.
Demikian riwayat Hadis. Mereka lupa perintah bahwa melakukan nilai baik yang hidup dalam masyarakat dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan Ma’ruf seakar dengan kata ‘Urf (adat/budaya).
Maka Islam sesungguhnya adaptif dengan kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat.
Virus radikal hanya dapat ditangkal dengan Vaksin Moderasi Beragama (Wasathiyah Islamiyah). Apalagi jika diperkuat dengan nilai-nilai kebangsaan dan kearifan lokal.
Dengan itu akan terbentuk herd immunity masyarakat dari bahaya perpecahan akibat radikalisme. Karena itu Indonesia butuh vaksinator dalam menangkal virus radikal.■