Makassar, muisulsel.com – Taubat artinya penyesalan yang mendalam karena telah melakukan maksiat lalu kembali kepada Allah dengan komitmen tidak akan mengulangi kembali.
Sebagian orang berkata, untuk menikmati taubat, perlu melekukan dosa terlebih dahulu. Ada lagi yang berkata, saya tidak perlu bertaubat karena saya tidak punya dosa. Ungkapan di atas tidaklah tepat, sebab manusia selain Nabi tempatnya salah dan khilaf.
Taubat sesungguhnya satu dari sekian banyak terminal yang harus dilalui manusia. Orang yang berdosa kecil apalagi besar butuh diampuni, orang yang telah bertaubat perlu memperbarui taubatnya kembali, berapa kali kita lalai dalam kewajiban, berapa kali kita melakukan hal yang syubhat (tidak jelas haram atau halal).
Karena itu manusia sangat butuh taubat sebagai ungkapan kelemahannya di hadapan Tuhan. Nabi Muhammad saw saja yang makshum (terjaga) dari dosa senantiasa membaca istigfar 100 kali dalam sehari.
Kalau demikian, taubat dibutuhkan karena dosa besar, taubat dibutuhkan karena dosa kecil, taubat dibutuhkan karena kelalaian kita, tobat dibutuhkan karena nikmat yang belum kita syukuri, taubat dilakukan untuk menyadari kelemahan diri kepada Allah dan seterusnya dan seterusnya.
Implementasi taubat, selain meninggalkan maksiat, seseorang juga harus kembali kepada Allah dan merasa menyesal atas perbuatannya.
Maka tidaklah dinamakan orang bertaubat, misalnya orang yang dahulu pernah minum khamar lalu ia tinggalkan karena sakit yang diderita atau karena tidak lagi punya uang untuk membeli minuman keras. Ia berhenti dari maksiat bukan karena dorongan takutnya kepada Allah swt tapi karena hal lain.
Karena itu rukun taubat ada tiga, pertama, ada penyesalan, kedua, meninggalkan maksiat tersebut dan ketiga, ada komitmen diri untuk tidak mengulanginya.
Sebuah riwayat dari kisah yang pernah terjadi pada masa Nabi Musa as ketika musim kemarau panjang, manusia dan makhluk lainnya nyaris korban karena panas dan haus.
Salah seorang dari Bani Israeel meminta kepada Nabi Musa untuk berdoa agar diturunkan hujan. Lalu Nabi Musa mengumpulkan jamaah dalam satu tempat untuk salat istisqa’.
Lazimnya setelah salat istisqa’ hujan turun, tapi ternyata hujan tak kunjung turun. Kemudian Musa as bertanya-tanya tentang apa gerangan hujan tidak turun, padahal istigatsah dilakukan dengan khusyu’. Allah kemudian menjawab, wahai Musa ketahuilah bahwa salah seorang jamaah kamu ada yang telah melakukan maksiat sejak 40 tahun.
Jika ia keluar dari majelismu, Aku akan turunkan hujan. Musa kemudian berdiri di hadapan jamaahnya dan meminta agar orang yang dimaksud itu keluar dari majlis istigatsah. Ternyata betul, ada seorang yang mengaku pada dirinya telah berdosa sejak 40 tahun.
Dan baru merasa bahwa selama ini Allah menutupi dosanya sehingga tak ada orang yang tahu. Jika ia keluar dari majelis itu, betapa malu dirinya dan akan dimaki oleh orang lain. Maka timbul penyesalan yang dalam, selanjutnya ia berkomitmen dan bejanji kepada Allah untuk tidak melakukan maksiat yang selama ini dilakukan.
Taubat hamba itu ternyata diterima oleh Allah dan kemudian turunlah hujan. Musa as merasa heran, sebab hujan turun padahal tak satu pun yang keluar. Rasa penasaran itu kembali membuatnya bertanya-tanya. Allah menjawab bahwa Aku turunkan hujan karena taubatnya seorang hambaku yang ada di majelismu.
Musa ingin mengetahui siapa gerangan orang yang istimewa itu dengan taubatnya, namun Allah berkata kepada Nabi Musa as “wahai Musa hambaku itu berdosa selama 40 tahun aku tutupi dosanya, hari ini ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, untuk apalagi saya buka lembaran gelapnya yang telah saya hapus”.
Betapa dahsyat pertaubatan yang sungguh-sungguh (taubat nasuha), ia mampu mengganti dosa menjadi kebaikan, itu dijelaskan dalam QS. Al-Furqan: 70 (kepada mereka Allah mengganti kejahatannya dengan kebaikan..).
Orang yang puluhan tahun lalai dengan salatnya, lalu ia bertaubat dengan menyesali kealpaannya dan berkomitmen untuk tidak meninggalkannya, maka kelalaiannya diubah menjadi kebaikan sejak ia menyatakan pertaubatan.
Salah satu nama Allah adalah Al-Tawwab, artinya rahmat Allah tak terbatas dalam menerima taubat hambaNya. Tak terbatas oleh jumlah orang, tak terbatas oleh waktu, tak terbatas oleh jumlah dosa. Ada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, ketika seorang datang kepada Rasulullah dan berkata, apakah jika saya melakukan dosa maka dicatat?, Rasul menjawab ia, jika saya bertaubat apa bisa dihapus? Jawab Rasul ia. Bagaimana jika saya berdosa lagi, apa dicatat? Jawab Rasul ia, jika saya bertaubat, apa dihapus? Rasul menjawab ia. Orang ini kemudian bertanya, sampai kapan itu terjadi. Rasul menjawab, “Allah tidak pernah bosan menerima taubat hambaNya selama hamba tidak bosan memohon taubat kepadaNya”.
Perhatikan riwayat Hadis yang dikeluarkan Imam Ahmad, bahwa ketika Iblis menolak sujud kepada Adam, Iblis berkata, “wahai Tuhanku demi kehormatan dan kemuliaanMu, aku akan goda manusia selama roh masih di jasadnya”. Allah menjawab “demi kemuliaan dan kehormatanKu, Saya akan mengampuni dosanya selama mereka memohon ampun”. Maka hari yang paling indah bagi kita manusia seperti yang disebut dalam riwayat lain, bukanlah hari pernikahan, bukanlah hari kelulusan, tapi hari di mana dosa kita diampuni oleh Allah swt.