Makassar, muisulsel – Tawakkal (tawakkul; arab) sering dipahami keliru oleh sebagian orang. Sikap yang kerap terjadi oleh orang yang sakit misalnya, ketika ia tidak berobat lalu menganggap hal itu sebagai bentuk tawakkalnya kepada Allah swt. Contoh lain Jika ia seorang siswa dan akan mengikuti ujian akhir, lalu ia berkata saya tidak perlu belajar, tapi cukup berdoa dan tawakkal saja, jika Allah menghendaki lulus pasti terjadi. Tidak perlu berusaha, jika Allah menghendaki menjadi orang kaya pasti terjadi. Apakah itu arti tawakkal?
Kata “Tawakkal’ sesungguhnya berasal dari kata ‘wakil’. Salah satu dari nama Allah swt yaitu “Al-Wakil”. Istilah wakil jika dinisbatkan kepada manusia berbeda jika dinisbatkan kepada Allah swt. Wakil jika yang dimaksud adalah jabatan yang disandang oleh seseorang, maka ia adalah pembantu yang siap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan untuk mendampingi sang ketua. Namun jika kata ini dinisbatkan kepada Allah swt (al-Wakil) maka menunjukkan kekuasaan penuh milik Allah atas hamba dan seluruh makhlukNya. Hanya padaNya lah seluruh kekuasaan atas segala seuatu. Karena kekuasaannya tak terbatas, maka kita serahkan segala urusan kepadaNya.
Ada ulama yang berkata bahwa makna tawakkal adalah penyerahan hati secara total seperti seorang mayat yang tak berdaya ketika dimandi. Sepertinya hati berkata, wahai Tuhan, saya serahkan diriku kepadaMu seutuhnya, saya siap apapun keputusan dan apapun perlakuanMu kepadaku, sebab saya tau bahwa Engkau tak mungkin menginginkanku jelek dan celaka.
Orang yang makan uang haram dari hasil korupsi dan lain sebagainya dipastikan bukan orang yang bertawakkal, karena ia tidak percaya bahwa Allah yang memberikan rezeki sehingga ia melakukan apa saja untuk memperoleh uang.
Orang yang bersedih dan menangis memikirkan keluarganya yang akan ditinggalkan, jika sedih karena berpisah itu manusiawi, tapi jika sedih karena merisaukan nasib hidup keluarganya, maka orang ini tidak menjadikan Allah sebagai wakilnya.
Berkenaan dengan ini, Abdullah bin Mas’ud ketika sakit di akhir hayatnya, Usman bin Affan membesuknya dan memberi uang. Ibn Mas’ud bertanya, untuk apa itu? Usman ra menjawab, kamu punya tiga anak perempuan, tidakkah kamu khawatirkan mereka. Ibn Mas’ud berkata, tidak sama sekali, saya telah ajarkan kepada mereka setiap malam membaca surah al-Waqi’ah, karena saya pernah mendengar Rasulullah bersabda, siapa yang membaca surah al-Waqi’ah setiap malam, tidak akan mengalami kemiskinan selama hidupnya.
Karena itu, urusan rezeki adalah urusan Tuhan, seseorang tidak akan mati sebelum rezeki dan ajalnya sempurna. Maksud ungkapan terakhir ini yang juga sebagai riwayat hadis yang dikeluarkan oleh Darqutni, bukanlah mengajaran pesimistis terhadap rezeki dan karena itu tak perlu diusahakan, tapi mendidik manusia dalam menyikapi rezeki untuk tidak melakukan hal yang tidak benar, serta tidak stres dalam memikirkan rezeki.
Tawakkal pada hakekatnya mengikuti sebab-sebab dalam bentuk fisik dan material yang harus dilalui, kemudian menyerahkan dengan sepenuh hati segala urusan kepada yang Maha Mengatur dan menguasai segala urusan. Orang ini rela diatur urusannya oleh Tuhan setelah melewati proses usaha yang dilalui.
Ada dua hal yang mutlak dalam tawakkal, pertama berusaha maksimal, dan kedua menyerahkan urusan kepada Allah. Inilah pesan ayat QS. Ali Imran: 159 (Apabila kamu telah berusaha maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertawakkal). Di ayat lain QS. Al-Thalaq:3 (Siapa yang bertawakkal kepadaNya maka itu cukup baginya).
Tawakkal menyandarkan diri dan menyerahkan sepenuhnya segala urusan kepada Allah swt dengan hati dan jiwa yang tenang sebagai kepasrahan seorang kepada Allah swt. Tawakkal adalah suatu sikap mental seseorang yang meyakini kekuasaan Allah swt di atas kekuasaan makhlukNya. Artinya tawakkal adalah amalan hati setelah melalui amalan tubuh, fisik serta sebab yang perlu dilalui sebagai bentuk ikhtiyar yang dilakukan oleh manusia.
Contoh yang paling islami bagi kita bangsa Indonesia adalah isi pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan lebih awal berkat rahmat Allah swt serta didorong keinginan luhur dan seterusnya, adalah buah pikiran para pendiri bangsa yang memiliki sikap tawadhu dan tawakkal kepada Allah swt.
Orang yang bertawakkal berada di antara dua kutub yang berbeda. Kutub kesombongan yaitu orang yang menganggap bahwa kesuksesan yang dicapai karena usaha dan kerja kerasnya tanpa keterlibatan Tuhan. Kutub yang kedua adalah kutub kemalasan dan pesimistis yaitu orang yang tidak punya etos kerja dan semangat untuk berikhtiyar dalam melakukan amal. Dan jika hanya pasrah kepada Tuhan tanpa berusaha itu namanya tawakul bukan tawakkal atau tawakkul.
Dengan demikian, orang yang bertawakkal adalah orang mengamalkan sunnatullah (ada yang terjemahkan dengan hukum alam) dan mengharapkan inyatullah (pertolongan Allah).
Pada zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, “Saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, “Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakkal”.