Dr. Idris Parakkasi (Anggota Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI Sulsel dan Konsultan Ekonomi dan Bisnis Islam)
Makassar,muisulsel.or.id – Ekbis Syariah. Kebijakan fiskal, yang meliputi instrumen penerimaan dan pengeluaran negara, merupakan tulang punggung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dalam discourse ekonomi modern, sistem fiskal yang dominan adalah sistem konvensional yang bersifat sekuler, di mana efisiensi, pertumbuhan PDB, dan stabilitas makroekonomi menjadi tujuan utamanya, seringkali dengan mengesampingkan pertimbangan etika dan distribusi kekayaan.
Islam, sebagai agama dan sistem hidup yang sempurna (kāmil), menawarkan sebuah sistem kehidupan yang komprehensif, termasuk dalam bidang ekonomi dan keuangan. Fiskal Islam bukan sekadar adaptasi sistem konvensional dengan “label halal”, melainkan sebuah bangunan sistem yang berdiri di atas fondasi nilai-nilai ilahiah (tauhid), keadilan (`adl), dan kemaslahatan umat (maslahah).
Sistem fiskal konvensional lahir dari pemikiran ekonomi Barat modern, dengan tokoh-tokoh seperti John Maynard Keynes dan Milton Friedman. Tujuannya bersifat materialistik-sekuler yaitu: Stabilisasi: Mengendalikan inflasi dan pengangguran melalui kebijakan counter-cyclical.Alokasi: Menyediakan barang dan jasa publik (public goods) yang tidak disediakan oleh mekanisme pasar.Distribusi: Memperbaiki ketimpangan pendapatan melalui pajak progresif dan transfer payment.Pertumbuhan: Mencapai tingkat Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang tinggi.
Dalam sistem ini, instrumennya adalah pajak (tax) dalam berbagai bentuk (PPh, PPN, Bea Cukai, dll) dan pengeluaran pemerintah (government expenditure) untuk belanja negara, infrastruktur, dan subsidi. Meski bertujuan distribusi, dalam praktiknya, pertumbuhan PDB sering kali menjadi primadona, yang terkadang mengorbankan keadilan distribusi.
Fiskal Islam berdiri di atas fondasi akidah dan syariah. Tujuannya multidimensional, mencakup duniawi dan ukhrawi yaitu:Mencari ridha Allah (Falah): Setiap kebijakan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan di dunia dan akhirat.Keadilan (`adl): Menghilangkan kesenjangan dan pemusatan kekayaan (concentration of wealth) pada segelintir orang. Allah SWT berfirman:”…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al-Hasyr: 59).
Pembersihan harta (tazkiyah): Zakat, sebagai instrumen utama, berfungsi membersihkan harta dan jiwa muzakki (pemberi zakat) sekaligus mensucikan jiwa mustahik (penerima zakat).”Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
Pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan (Growth with Equity): Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, tetapi harus diiringi dengan distribusi kekayaan yang merata dan pemberdayaan masyarakat.Pada fiskal konvensional instrumen penerimaan didominasi oleh pajak. Sumber penerimaan hampir sepenuhnya berasal dari pajak, yang bersifat memaksa (coercive) dan tanpa adanya konsekuensi ukhrawi yang langsung. Pajak progresif diterapkan untuk tujuan distribusi, namun sering menuai kritik karena dapat memengaruhi insentif kerja dan investasi.
Fiskal Islam memiliki keberagaman sumber yang berkeadilan terhadap penerimaan negara dalam Islam lebih beragam dan berlandaskan keadilan yaitu; Zakat: Ini adalah instrumen utama dan unik. Zakat bukan pajak, melainkan kewajiban ibadah (mahdhah) bagi muslim yang memenuhi syarat (nishab dan haul). Zakat memiliki basis yang jelas (ada 8 ashnaf/kelompok penerima) dan bersifat pasti (2.5% untuk emas dan uang). Ini mencegah diskresi pemerintah yang berlebihan.
Pajak (dharibah): Dalam Islam, pajak bukan sumber utama. Ia hanya diterapkan dalam kondisi darurat (emergency) ketika kas negara (Baitul Mal) tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan dasar dan kolektif umat. Syaratnya sangat ketat: harus adil, transparan, tidak membebani rakyat dan setelah semua sumber halal lainnya digali.Sumber non-pajak lainnya:
Ghanimah dan fa’i: Harta rampasan perang (yang kini dapat dianalogikan dengan sumber daya alam yang dikuasai negara).Kharaj: Pajak atas tanah yang ditaklukkan.Ushr: Pajak perdagangan (10% untuk muslim, 20% untuk non-muslim yang memiliki perjanjian) yang sangat rendah dan mendorong perdagangan.
Hasil kepemilikan negara: Seperti tambang, hutan, dan aset produktif milik Baitul Mal.
Instrumen pengeluaran negara: Konsumtif vs. Produktif dan Pemberdaya Fiskal Konvensional:
Pengeluaran pemerintah dialokasikan untuk belanja pegawai, infrastruktur, subsidi, pertahanan, dan transfer payment (seperti bantuan tunai). Meski diperlukan, subsidi dan bantuan tunai yang tidak tepat sasaran dapat bersifat konsumtif dan menciptakan ketergantungan (dependency).
Fiskal Islam memiliki orientasi pada pemberdayaan prinsip pengeluaran dalam fiskal Islam adalah untuk merealisasikan maslahah. Prioritas alokasi dana Baitul Mal sangat jelas:
Prioritas Pertama: Kebutuhan dasar individu (al-Hajat al-Asasiyah). Negara wajib memenuhi sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan bagi setiap warga negara, muslim maupun non-muslim, yang tidak mampu.
Prioritas Kedua: Kebutuhan Kolektif (Masalih al-`Ammah). Pembiayaan untuk keamanan, infrastruktur publik, pendidikan umum, dan riset untuk kemaslahatan bangsa.Orientasi produktif: Zakat tidak hanya untuk konsumsi. Sebagian besar dana zakat (untuk ashnaf seperti fuqara dan masakin) seharusnya dialokasikan untuk program pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan, modal usaha mikro, dan pembangunan sarana publik yang menciptakan lapangan kerja. Ini mentransformasi mustahik dari penerima bantuan menjadi muzakki potensial.
Dampak fiskal konvensional secara teori, pajak yang tinggi dapat mengurangi insentif untuk bekerja dan berinvestasi (efek crowding out). Namun, jika pajak dialokasikan secara efisien untuk infrastruktur dan human capital, dapat mendorong pertumbuhan jangka panjang. Data dari banyak negara maju menunjukkan bahwa tingkat pajak yang tinggi (di atas 30%) tidak selalu menghambat pertumbuhan jika dikelola dengan baik (data OECD). Namun, masalah utama adalah ketimpangan. Laporan Oxfam (2023) menyebutkan bahwa kekayaan 1% orang terkaya dunia meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan 99% populasi lainnya dalam dekade terakhir, menunjukkan bahwa sistem yang ada belum sepenuhnya berhasil menciptakan keadilan distributif.Dampak Fiskal Islam terhadap Pertumbuhan Mekanisme fiskal Islam dirancang untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan yaitu:
1. Peningkatan aggregate demand yang sehat: Dana zakat dan infaq yang didistribusikan kepada kelompok berpenghasilan rendah memiliki Marginal Propensity to Consume (MPC) yang tinggi. Mereka akan segera membelanjakan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang langsung meningkatkan permintaan agregat di sektor riil. Ini memicu produksi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja.
2. Pengentasan kemiskinan dan peningkatan produktivitas: Program pemberdayaan berbasis zakat meningkatkan kapasitas produktivitas kaum miskin. SDM yang sehat, terdidik, dan memiliki modal kerja adalah mesin pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
3. Stabilitas sosial dan ekonomi: Kesenjangan yang lebar adalah bom waktu sosial dan menghambat pertumbuhan. Dengan mengurangi kesenjangan secara drastis, fiskal Islam menciptakan stabilitas politik dan sosial, yang merupakan prasyarat bagi iklim investasi yang sehat.
4. Pencegahan penimbunan harta (hoarding): Kewajiban zakat mendorong pemilik harta untuk menginvestasikan dan memutarkan hartanya. Harta yang mengendap (idle assets) akan terus berkurang karena dikenai zakat 2.5% setiap tahun. Ini mendorong investasi yang produktif dan mempercepat sirkulasi uang (velocity of money) dalam ekonomi.
“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)
Data empiris dan praktik kontemporer studi yang dilakukan oleh Islamic Research and Training Institute (IRTI) dan Islamic Development Bank (IsDB) menunjukkan bahwa negara-negara dengan implementasi zakat yang baik (seperti Saudi Arabia, Sudan, Malaysia, dan Pakistan) mengalami penurunan dalam indeks kemiskinan dan peningkatan dalam indikator pembangunan manusia. Di Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) melaporkan bahwa pada tahun 2022, realisasi penghimpunan zakat mencapai Rp 14,8 triliun, yang didistribusikan untuk program-program pemberdayaan yang berdampak signifikan pada puluhan ribu mustahik.Implementasi penuh fiskal Islam menghadapi beberapa tantangan besar: Sistem ekonomi yang terintegrasi ekonomi dunia didominasi oleh sistem kapitalis yang berbasis bunga (riba). Memisahkan diri sepenuhnya sangat sulit.
Governance dan transparansi sangat bergantung pada kepercayaan publik. Jika institusi pengelola zakat (Baitul Mal/BAZNAS) tidak transparan dan akuntabel, maka tujuan keadilan tidak akan tercapai.Pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat secara tepat masih perlu ditingkatkan.
Kesadaran akan keadilan ekonomi dan keuangan etis (ethical finance) sedang meningkat global. Fintech syariah dan platform digital zakat memudahkan penghimpunan dan distribusi yang transparan. Fiskal Islam tidak harus diterapkan dalam bentuk negara khilafah, ia dapat diintegrasikan secara gradual dalam kerangka nation-state modern melalui regulasi yang cerdas dan komitmen politik yang kuat.
Perbandingan antara fiskal konvensional dan fiskal Islam pada hakikatnya adalah perbandingan antara dua paradigma yang berbeda. Satu berpusat pada materi dan pertumbuhan angka, sementara lainnya berpusat pada nilai-nilai ilahiah, keadilan, dan keseimbangan.
Fiskal konvensional, dengan segala capaiannya dalam pertumbuhan PDB, terbukti masih gagal menyelesaikan masalah mendasar ketimpangan. Sebaliknya, fiskal Islam menawarkan sebuah model yang holistik dan visioner. Dengan instrumen utamanya, zakat yang bersifat pasti dan berorientasi pemberdayaan, serta didukung oleh sumber penerimaan lain yang berkeadilan, sistem fiskal Islam tidak hanya bertujuan menstimulasi pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih penting lagi, memastikan bahwa pertumbuhan tersebut dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara adil.
Dalam perspektif Islam, pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah sarana untuk mencapai falah yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat. Implementasi fiskal Islam yang komprehensif dan transparan merupakan jalan terbaik untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, stabil, dan diridhai oleh Allah SWT, yang pada akhirnya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang benar-benar berkualitas dan berkelanjutan. Wallahu a’lam
Irfan Suba Raya