Makassar, muisulsel.or.id – Ketua Komisi Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan Prof H Andi Marjuni memaparkan materinya dalam dialog lintas agama dan budaya di kantor Kementerian Agama Provinsi Sulsel, Senin, 2 Juni 2025.
Dialog lintas agama dan budaya ini dihadiri oleh seluruh perwakilan lintas agama, baik tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat turut hadir menjadi peserta dalam dialog tersebut.
Prof H Andi Marjuni dalam ulasannya mengungkapkan materinya tentang kerukunan antar umat beragama. Dirinya memaparkan setidaknya ada empat pilar dalam menjaga kerukunan tersebut.
Menurut ulasannya, keempat pilar itu adalah yang pertama bagaimana tentang paradigma keagamaan kita, yang kedua adalah kekaisaran, dan yang ketiga uang, serta yang keempat adalah kebudayaan. Keempat landasan inilah yang sesungguhnya mampu mempersatukan umat manusia.
“Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan berbeda-beda, mereka diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuannya untuk apa, tiada lain untuk saling mengenal,” katanya memulai materinya.
Dalam paparannya, Andi Marjuni mengutip perkataan Presiden ke 4 RI Gusdur bahwa di Indonesia tidak boleh ada perbedaan kepada setiap warga negara Indonesia, berdasarkan dengan agama, suku, ras dan ideologi. Sebagai sesama anak bangsa, maka sama-sama memiliki peran dalam membangun suatu ideologi.
“Mengapa sering terjadi perbedaan, karena adanya diksi-diksi yang terbagi bagi. Misalnya diksi tentang kita memang sama-sama anak bangsa, tetapi saya Islam dan kamu Kristen. Tetapi mengapa diksi itu tidak kita balik bahwa meskipun saya orang Islam dan kamu Kristen, tetapi kita sama-sama anak bangsa dan mari kita bersatu,” ulasnya dihadapan para tokoh lintas agama.
Peran kearifan lokal ini sangatlah diperlukan, kata Andi Marjuni, karena dengan kearifan lokal, kita dapat membangun kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan manusia.
Guru besar kampus UINAM yang juga pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Selatan ini mengatakan, mengapa para penyebar Islam di Sulawesi Selatan ini berhasil menyebarkan Islam, karena mereka membawa kearifan lokal sebagai bekal dalam dakwah.
“Datok Tiro datang ke ujung selatan Sulawesi, melihat masyarakatnya seperti suku Kajang yang sudah mengerti falsafah hidup maka yang diajarkan olehnya adalah ilmu Tasawuf,” jelasnya.
“Namun saat ulama penyebar Islam ini tiba di Makassar yang sudah memiliki tatanan hukum di masyarakat, maka yang diajarkan olehnya itu yakni ilmu Fiqih, yang memang diajarkan dalam hukum Islam,” tambahnya lagi.
Kontributor: Nur Abdal Patta