Komisi HAUB MUI Sulsel Hadiri Dialog Kebudayaan dan Bai Nian Imlek

Makassar, muisulsel.or.id – Ketua Komisi Hubungan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (HAUB MUI) Sulawesi Selatan Prof Dr H Wahyuddin Naro, MA, menghadiri acara dialog kebudayaan yang diselenggarakan oleh Persatuan Umat Budha Indonesia (PERMABUDHI) Sulawesi Selatan di Kelenteng Ibu Agung Bahari yang dirangkai dengan Bai Nian Imlek.

Dialog Kebudayaan tersebut menghadirkan seorang narasumber yang berprofesi sebagai Konten Kreator Budaya Tionghoa Peranakan Elsa Novia Sena dari Jakarta.

Menurut Elsa, bangsa Tionghoa telah ada di nusantara sejak abad ke 15 masehi, dan turut berperan serta dalam perang melawan penjajahan Belanda. Hal itu dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah berupa Kelenteng yang ada di daerah Jakarta, dan tetap exist hingga saat ini.

“Dahulu kala, masyarakat Tionghoa itu telah berbaur dengan masyarakat pribumi. Hal itu dapat kita lihat dari hadirnya Kelenteng yang tersebar di Pulau Jawa, dan telah berusia ratusan tahun dengan bentuk bangunan yang masih seperti zaman dulu,” ungkap selebgram, Elsa.

Ditempat yang sama, Ketua Komisi HAUB Prof Wahyuddin Naro mengungkapkan ada beberapa hal dari fungsi sebuah Kelenteng. Yang pertama menurutnya adalah sebagai sebuah kesatuan komunitas yang artinya tempat tersebut menjadi pusat komunitas lokal, berkumpul untuk beribadah.

“Dalam Kelenteng, mereka tidak hanya berbicara soal ibadah saja, akan tetapi juga berbicara tentang budaya, tradisi, dan juga berbicara tentang hari raya yang sekaligus menjadi sebuah tradisi, terlebih saat ini masih dalam suasana tahun baru Imlek,” ucap mantan Warek II kampus UINAM ini, usai kegiatan pada Ahad, (18/2/2024) di Kelenteng Ibu Agung Bahari, Jl. Sulawesi, Makassar.

“Fungsi kedua dari Kelenteng adalah untuk kelestarian budaya. Oleh karena pada tiang-tiang Kelenteng tersebut terdapat ukiran-ukiran berbagai macam hewan, yang memiliki pilosopi tersendiri, misalnya ukiran naga yang melambangkan kekuatan, atau ukiran kura-kura yang melambangkan umur yang panjang,” sambung Wahyuddin Naro.

Guru besar kampus UIN Alauddin ini melanjutkan bahwa fungsi berikutnya adalah untuk mempraktikkan bagaimana teori beragama yang pelaksanaan nilai-nilai keagamaan. Baik itu ia Budhisme, atau Konghucu. Dan yang terakhir fungsi dari kelenteng adalah adanya edukasi dan pengetahuan, di mana kelenteng ini akan menghubungkan antara satu kelenteng dan kelenteng yang lain, menurutnya.

Dialog Kebudayaan ini dihadiri oleh Sekretaris Komisi HAUB Dr KH Hasid Hasan Palogai, MA, berbagai tokoh agama seperti perwakilan Keuskupan Sulsel, PGI Sulsel, Ketua Hindu Sulsel, Camat Wajo, serta ratusan umat Budha Tionghoa.

Kontributor: Nur Abdal Patta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.