Mustari Mustafa, Ulas Konflik Iran-Israel, Dari Perspektif Psiko-Filosofi

Makassar, muisulsel.or.id – Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Prof Dr KH Mustari Mustafa, dalam sebuah diskusi publik mengulas konflik Iran dan Israel dengan pendekatan perspektif psiko-filosofi.

Diskusi publik yang diprakarsai oleh Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional ini dilaksanakan secara daring melalui zoom, canal Youtube MUI Sulsel, serta livestreaming Tribun Timur, yang berlangsung pada Senin, 23 Juni 2025. Sebanyak lebih dari 500 peserta ikut bergabung, dengan 235 orang terdaftar lewat zoom. Selebihnya memantau dari berbagai platform daring lainnya.

Acara ini dibuka oleh AGH. Nadjamuddin AS, Ketua Umum MUI Sulsel. Dalam sambutannya, dirinya berpesan dalam satu kalimat yang menjadi pondasi diskusi: “Jika Perang adalah kecelakaan sejarah, maka berpikir adalah remnya,” kalimat ini seakan menjadi nada dasar dari seluruh pemaparan narasumber yang menyusul.

Empat suara, empat pula sudut pandang. Hal itu disampaikan oleh masing-masing narasumber yang memaparkan sudut pandang tajam soal konflik yang terus memanas.

Prof Mustari Mustafa, menyuguhkan pandangan yang berbeda. Ia menganalisis konflik ini lewat perspektif psikoanalisis Sigmund Freud, yang mengulas tentang peta kejiwaan manusia.

Dalam penjelasannya bahwa perilaku agresif dalam konflik ini mencerminkan dominasi “Id” atas Ego dan Superego. “Perang adalah ekspresi dari naluri pemangsa dalam diri manusia dan hanya bisa dikendalikan jika ada kesadaran global kolektif,” jelasnya.

Ketua Harian Masjid Almarkaz Makassar ini, menjelaskan lebih jauh tentang teori Sigmund Freud bahwa perang adalah manifestasi dari Id bagian liar dalam diri manusia. “Ini adalah konflik yang mencerminkan dominasi naluri agresif atas rasionalitas. Jika kita tidak mampu membangun kesadaran global, maka Id kolektif manusia akan terus menjatuhkan peradaban kita ke jurang kehancuran.”

Mustari Mustafa, memandang konflik panjang Iran dan Israel dipenuhi kecurigaan, permusuhan ideologis, dan hasrat mempertahankan pengaruh di Timur Tengah. Dalam perspektif Freud, konflik ini dipicu oleh insting dominan manusia (id) yang mendorong ego kolektif bangsa untuk mempertahankan eksistensi negara dan ideologi masing-masing, seperti teokrasi Syiah Iran dan demokrasi Zionis Israel.

Dirinya juga mengungkapkan adanya persaingan pengaruh geopolitik dan militer, contohnya dukungan Iran kepada Hasbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza sebagai perpanjangan konfliknya dengan Israel. Semua itu dibalut perilaku superior dan egois, atau dalam istilah Freud, bentuk hasrat merasa lebih benar, lebih unggul, dan lebih sah.

Pada diskusi kali ini, para narasumber sepakat bahwa perang dan laga civitas harus dilihat sebagai musuh utama peradaban humanistik. Maka perlu upaya bersama untuk membangun etika global dan menolak perang sebagai solusi, mendorong diplomasi serta kemanusiaan sebagai jalan damai.

Keseruan diskusi yang dipandu oleh Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI Sulsel, Dr H. Norman Said, selaku moderator memantik alur pemikiran para peserta diskusi. Ditutup dengan penyampaian perenungan oleh Sekretaris Umum MUI Sulsel, Prof Muammar Bakry.

Dirinya berbicara bukan sebagai diplomat, atau analisis politik, namun sebagai penjaga nurani umat. Dalam kutipan kalimatnya ia mengatakan bahwa dunia tak butuh lebih banyak senjata, dunia butuh kesadaran, kesadaran bahwa anak-anak di Gaza, Teheran, dan Tel Aviv sama-sama ingin hidup damai.

Kontributor: Nur Abdal Patta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.