Makassar, muisulsel.or.id – Keberadaan pemimpin di suatu tempat atau di masa tertentu adalah ketentuan Allah Swt pada tempat atau zaman tertentu.
Suatu masyarakat yang terpilih pemimpinnya sesuai garisan kondisi masyarakat itu dan sesuai dengan tingkat perjuangan masyarakat dalam hal memenuhi hak dan kewajiban mereka.
Allahlah Yang Maha Menganugerahi atau Mencopot eksistensi pemimpin itu seperti tertuang dalam ayat :
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ [ آل عمران: 26]
Katakanlah: “Wahai Allah, Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Yang penting dipahami itu adalah sikap raiyyah atau warga terhadap keberadaan pemimpin mereka yang sah, suka atau tidak suka maka warga harus sadar bahwa Al-Qur’an ada tuntunan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah Swt agar taat pada pemimpin mereka, Ali Imran 59 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kewajiban mengikuti pemimpin sifatnya umum, dan harus dalam perspektif syariat Islam, kecuali pemimpin yang terang terang ajak kepada keburukan, kenistaan dan maksiat maka itu tidak wajib diikuti.
Perintah pemimpin adalah selalu berupa kebijakan, bila itu kebijakan dan bertujuan baik walau ada kelihatan kekurangan maka umat ini wajib mengikutinya. nabi saw bersabda:
عَلَى المَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ والطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وكَرِهَ، إلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيةٍ، فَإنْ أُمِرَ بِمَعْصِيةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَة. متفقٌ عَلَيْهِ.
Wajib bagi seorang mukmin patuh dan taat pada kebijakan pemimpin suka atau tidak suka kecuali pemimpin yang memerintahkan pada pelanggaran maksiat, jika itu terjadi maka tidak wajib taat dan patuh. (Bukhariy Muslim).
Kewajiban patuh dan taat ini selalu diikat oleh kemampuan individu dan golongan dalam berpatuh dan berpanut, masyarakat hanya dituntut taat sesuai dengan kemampuan mereka mengikuti dan melaksanakan kebijkaan itu, bila tidak mampu maka mereka dituntut sabar dan diam, tidak menantang dan tidak melawan arus, karena kebijakan itu akan terus berjalan ke arah sasaran, yang bisa saja mengalami hambatan tercapai dengan segera, yang pada akhirnya akan melahirkan kesuksesan untuk semua kalangan termasuk pada yang sabar dan diam tadi.
Sikap sabar dan diam ini adalah ikut membantu dengan doa sukses, karena pemimpin akan tetap terus berjuang mencapai kemaslahatan bersama.
Rasul Saw selalu melarang umatnya bentrok dan menentang secara sporadis para pemimpin ,hikmahnya adalah agar tidak terjadi bentrokan berdarah dan saling menzalimi hanya karena kebijakan pemimpin, sebaiknya warga atau rakyat taat saja dan itu bernilai ibadah disisi Allah Swt:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم.
Siapa saja melepaskan ketaatan pada pemimpin, maka ia akan menjumpai Allah di hari kiamat dalam kondisi tidak dibela oleh siapapun, siapa saja telah menemui ajal dan ia belum ungkapkan ketaatannya pada pemimpinnya maka matinya tergolong matinya orang jahiliah.(H.R Muslim).
Terkadang fokusnya seseorang yang mengamati kepemimpinan pada sosok pimpinan tertinggi, sehingga apabila pimpinan tertinggi itu penuh dengan kekurangan maka patuh dan taat si pengamat itu ditarik dan tidak patuh lagi.
Ini kurang bijak karena kepemimpinan itu sistem kesepakatan bukan dilihat dari sosok tertingginya jabatan saja, tapi dilihat kebersamaan dalam perjuangan dan kemaslahatan, walau pimpinan tertinggi kadang lemah tapi orang orang kedua dan ketiganya dst.
Itu kuat maka kepemimpinan itu juga masih perlu dan harus ditaati seperti ungkapan Rasul Saw:
اسْمَعُوا وأَطِيعُوا، وَإنِ استُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشيٌّ، كأَنَّ رأْسَهُ زَبيبةٌ . رواه البخاري.f
Patuhlah dan taatlah kalian semua kepada prmimpin kalian, walau itu dijabat oleh seorang asli hamba sahaya dari negeri Ethopia, model pintal rambut kepalanya bagai biji kismis. (H.R Bukhariy).
Para sahabat pasca wafatnya nabi bersatu padu mendukung yang terpilih, walau kritik dan pertimbangan tetap diarahkan pada pemimpin, agar pemimpin itu senantiasa berintropeksi dan mengubah kebijakan salah menjadi baik. Umar mengkritisi Abu Bakar. Usman mengkritisi Umar dan Ali mengkritisi Usman demikian pula sahabat lainnya berbuat demikian.
Kewajiban raiyyah (rakyat) melihat kepemimpinan yang khilaf dan salah tetap loyal pada tanggung jawabnya sebagai rakyat dan melakukan segala kewajiban invidu dan golongan, dengan demikian mereka menjadi warga muslim yang baik yang menghadapi adanya keburukan pemimpin bukannya frontal memboikot apa saja yang pemimpin dapat kerjakan, sabda Rasul Saw:
إنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قالوا: يَا رسول الله، كَيْفَ تَأمُرُ مَنْ أدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ؟ قَالَ: تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللهَ الَّذِي لَكُمْ. متفقٌ عَلَيْهِ
Sepeninggalku banyak kendala dan urusan yang kalian pungkiri keabsahannya, mereka bertanya, apa yang engkau perintahkan kami lakukan menghadapi hal-hal demikian? Rasul menjawab lakukan kewajiban apa saja yang utama pada kalian, dan mohonlah kepada Allah Swt agar hak hak kalian dapat terpenuhi. (Muttafaqun alaihi).
Persoalan kepemimpinan dianggap kurang adil oleh rakyat ditanggapi para ulama fiqhi dengan ketentuan- ketentuan hukum Islam yang preventif terhadap kemaslahatan ummat, tatanan syariat dan persatuan umat.
Ada yang mengungkap bahwa Fuqaha Malik, Syafii dan Abu Hanifah rahimahullah berpendapat boleh menentang pemimpin Zalim, ungkapan ini tidak benar dan tuduhan pahit kepada para fuqaha oleh penulis penulis yang tak bertanggung jawab.
Yang benar adalah bahwa Imam Malik dan murid muridnya berkata mereka mengharamkan memberontak kepada pemimpin zalim itu diungkap oleh muridnya Ibnu Zaid, Ibnu Batthal (Syarah Bukhariy), dan Ibnu Abdil Barri Rahimahullah, semua mengharamkan keluar frontal berontak pada pemimpin Zalim.
Abu Hanifah dan murid muridnya juga senada dengan Imam Malik, yaitu tercatat dalam sejarah bahwa Imam Hanafi dalam kitabnya al-Fiqhi Al-Akbar mengharamkan seseorang keluar dari taat terhadap para pemimpin walau awalnya cenderung membolehkan karena situasi kelaliman para pemimpin di awal awal kehidupan Imam Abu Hanifah, namun setelah matang ilmunya maka beliau tulis dalam kitabnya itu
Keharaman tidak taat pada pemimpin walau Zalim, itu juga tertera dalam kitab al akidah atthawiyah oleh Imam Thohawi dan disebut dalam kitab, Al-fatwa al-hamawiyah oleh Ibnu Taimiyah yang juga merupakan pendapat sebagian dari mazhab Imam Ahmad Rahimahullah..
Kalau imam Syafii dan murid-muridnya seperti Al-Mazniy, Ibnu Hajar Al-askalaniy, al-Gazaliy dan Imam Nawawi, pendapat terbesar mereka haramkan berontak terhadap pemerintahan sah dan disepakati walau banyak kezaliman di lakukan.Kesepakatan Fuqha ini terlebih lagi pada pemerintahan yang tidak zalim maka lebih utama patuh dan taat dan haram hukumnya memberontak kepada pemerintah sah..
Kepatuhan dan taat pada pemimpin menurut Fuqaha itu, bukan berarti dilarang mengkritisi pemerintah yang salah kebijakan dan salah memerintah dan melarang, mengkritisi adalah masuk dalam bab nasehat yang bijak, membantah dengan penuh hikmah dan moizhah ( saran saran), ini tetap terbuka dengan cara dan sistem yang dibenarkan dan nasehat kepada pemimpin itu berpahala besar karena bagian dari Dakwah Islamiyah.
Secara konklusi bahwa taat kepada pemerintah itu maslahatnya tinggi sekali, karena memberontak secara frontal merusak SDM dan Infra struktur yang telah dibangun berabad-abad dan lebih dari itu jauh dari perjuangan meniti liku liku dakwah menuju keberhasilan. wallahu A’lam.