Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA ( Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar, muisulsel.or.id – Orang berilmu itu senantiasa memiliki kepadatan konsep dan saran, sehingga ia memandang orang di sekitarnya sebagai mitra perubahan dan pembinaan yang harus dituntun, diperintah atau dilarang.
Apabila orang berilmu dan sarat pengalaman menanggapi orang yang ada bersamanya maka bernasehat dan berbina adalah tipe yang mendominasi keinginan dan karakternya.
Allah menuntut orang yang berilmu dan berpengalaman itu agar ia bijak dalam menasihati orang lain dan tenggang rasa terhadap situasional terhadap orang dinasihati
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ١٢٥
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.
Mengerti situasional pasti sangat penting dalam mencapai target nasehat dan peringatan karena penerimaan nasehat akan baik bila yang memberi nasehat menyesuaikan daya serap dan kesiapan orang yang dituju itu pas dan sesuai kesiapan menerima tuntunan.
Banyak pendidikan dan pembinaan yang kurang beruntung saat menasihati karena kurang bijak, jeda waktu nasehat keagamaan yang sifatnya umum dilakukan bijaknya itu sepekan per materi atau tema materi per satu orang penasihat per satu komunitas dan tempat, hal ini senada dengan penyampaian sahabat nabi Ibnu Masud ketika diminta oleh seorang tabiin memberikan nasehat spiritual targib pahala ketaatan setiap hari di masjidnya seperti dikisahkan dalam riwayat:
وعن أَبي وائلٍ شقيقِ بن سَلَمَةَ، قَالَ: كَانَ ابنُ مَسْعُودٍ رضي الله عنه يُذَكِّرُنَا في كُلِّ خَمِيسٍ مَرَّةً، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمنِ، لَوَدِدْتُ أنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ، فَقَالَ: أمَا إنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ أنَّي أكْرَهُ أنْ أُمِلَّكُمْ، وَإنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ، كَمَا كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. متفقٌ عَلَيْهِ.
Menurut Syaqiq bin Salamah bahwa Ibnu Mas’ud mengatur ritme materi targib nasehat berpahala besar bila dikerjakan dengan ritme sepekan per materi maka seorang mengusul bahwa bagaimana jika tiap hari saja karena ini menyenangkan? Maka Ibnu Masud menjawab ; bagus sekali tetapi saya khawatir saya membuat jiwa kalian terbosankan, saya hanya dapat mengatur ritme nasehat seperti ini per pekan per materi persis dilakukan Nabi saw., kepada kami sahabatnya karena kekhawatiran rasul materi nasehat dapat membosankan pada jiwa kami para sahabat.
Dua alasan ini yaitu potensi bosannya individu dan kebosanan pada materi. Dua hal yang dipertimbangkan ini untuk pengaturan tahapan nasehat dan tahapan memperingatkan agar dilakukan untuk orang awam cukup sepekan saja pemateri itu.
Jadi berdakwah di jalan agama Allah dan ketauhidan pada Allah sepatutnya dilakukan dengan bijak, lembut dan penuh nuansa toleransi karena semakna dengan wajaadilhum billati hqiya ahsan atau bantahlah mereka dengan penuh pengertian.
Metode dakwah dan memperingati senada hal tersebut perlu dilakukan para khatib Jumat agar cukup mengemukakan poin-poin materi peringatan untuk direnungkan tanpa mengupas panjang lebar yang membuat khotbah itu membosankan karena yang perlu di hari Jumat adalah memenuhi rukun khotbah dengan sedikit waktu saling mengingatkan selebihnya waktu disisakan untuk shalat Jumat dengan bacaan lebih lama dalam beribadah lama sehingga keutamaan Jumat dapat menyeluruh ke jamaah bukan hanya pada khatibnya seperti dalam ungkapan hadis:
إنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقههِ، فأطِيلُوا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوا الْخُطْبَةَ)). رواه مسلم.
Rasul bersabda ; panjang shalat seseorang di hari Jumat dan pendeknya khatib berkhotbah adalah bermakna kedalaman pemahaman agamanya seorang khatib Jumat.
Secara konklusi dapat dikatakan bahwa menasihati dan memperingati adalah pekerjaan mulia berpahala besar yang harus disampaikan dengan bahasa halus, lembut, menyentuh kalbu dan disertai dorongan ikhlas semata karena Allah di hati penyampainya. Wallahu Taala A’lam.
Kontributor : Irfan Suba Raya