Oleh: Prof. DR. M. Arfin Hamid, SH, MH
Deskripsi pengembangan ekonomi Syariah di Indonesia sudah menunjukkan fase penguatan dan pengembangan serta menunjukkan output dan outcome yang mulai banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu semakin memerlukan perhatian, komitmen dan sinergitas yang lebih kuat lagi untuk ‘mengayuh’ perahu besar nan indah ini.
Melalui buku/naskah Materplan Ekonomi Syariah dipublikasikan Bappenas secara objektif telah mendeskripsikan fokus utama pengembangan ekonomi Syariah 2019-2024 adalah sector produksi dan jasa dengan komitmen implementasi halalan tayyiban (ya ayuhan nas kulu mimma fil ardhi halalan tayyiban).
Untuk sekadar urung rembug sekaitan dengan padangan atau konsep pengembangan ekonomi Syariah khususnya di Indonesia, berikut ini saya paparkan beberapa catatan kecil moga ada manfaatnya, yaitu :
- Mencermati tren perkembangan Ekonomi Syariah/Hukum Ekonomi Islam menunjukkan sesuatu yang signifikan terutama secara institusional baik dalam makna menjadikan sebagai urusan negara dan negara terlibat langsung dalam pengelolaan, pengawasan/regulator, dan stakeholder. Hal itu menjadi indikator penting pengembangan ekonomi Syariah (muamalah iqtishadiyyah) yang pada awal mulanya diperaktekkan oleh Nabi Muhammad adalah individual, seperti asal produk/akad mudharabah antara St Khadijah dengan Muhammad, antara shohibul mal dengan pedagang (mudharib), kemudian meningkat setelah Muhammad mendapat hasil menjajakan komoditi St Khadijah dengan keuntungan yang diperoleh, kemudian meminta ke shohibul mal agar bisa menginvestasikan juga modalnya, dari sini lahirlah akad/produk musyarakah. Menyimak tren ini sudah menunjukkan langkah yang sangat maju selain institusi negara telah dilibatkan, disamping itu institusi bisnis ekonomi Syariah di luar negara dalam berbagai bidang usaha juga tumbuh subur, seperti bank Syariah, takaful, gadai, reksadana, pasar modal, sukuk negara, perdagangan Syariah, dst.
Apa problem best practices-nya. Perkembangan secara institusional itu sudah saatnya juga ditumbuhkan pelibatan seluruh elemen masyarakat secara individual untuk mengimplementasikan model/produk ekonomi Syariah tersebut sesuai kapasitas dan pilihan masing-masing (la yukallifunnahu nafsan illa wus’aha – qul kullun ya’malu ala syakilatih). Karena hakikat nash (dalil) berusaha itu endingnya adalah individual, semua model/produk/akad basisnya adalah individual, jika hal ini mampu tersosialisasikan maka penguatan ekonomi Syariah secara personal itu otomatis akan menopang dan menguatkan pembangunan ekonomi institusional. Seperti jual beli biasa antar personal gunakanlah akad al-bay, jual beli cicilan yang marak di kalangan ibu-ibu rumah tangga mulailah aplikasikan akad murabahah, usaha bermitra individual tanpa harus melalui organisasi bisnis atau badan usaha gunakanlah akad musyarakah, antara pemodal dengan penjaja usaha gunakanlah akad mudharabah, dan bahkan surat berharga Syariah (sukuk) potensial juga diarahkan ke individual. Notaris juga akan semakin berperan karena masyarakat Syariah sudah pasti membutuhkannya. Jadi untuk mengimbangi tren perkembangan institusional ekonomi Syariah yang saat seolah-olah hanya itulah potret ekonomi Syariah, padahal masih terdapat potensi besar yang menuntut pembumian juga adalah ekonomi Syariah secara personal, dan inilah roh dan penciri fundamental sistem ekonomi Syariah (muamalah).
- Dari sisi perkembangan kajian ekonomi Syariah, realitasnya menunjukkan sudah sangat berkembang baik institusional melalui Pendidikan tinggi dan SLTA sudah direspons dengan membuka jurusan atau program studi ekonomi Syariah atau aplikasi kajian tertentu sesuai kebutuhan telah tumbuh subur, bahkan menjadi favorit. Demikian pula semangat kajian secara individual oleh ahli/pakar/ulama juga sudah marak dan mencerahkan, namun demikian masih menyisakan problem akademik yang potensial akan menggunggu pemahaman dan logika ilmiah pada masa-masa yang akan datang. Kini pemerhati, pemikir dan pelaku ekonomi Syariah terpola kepada dua pandangan atau aliran besar, pertama penganut pandangan yang berbasis fikih muamalah (iqtishad), dan kedua adalah penganut pandangan ekonomi Syariah/Islam. Kalangan penganut fikih muamalah telah terbangun sejak lama oleh ulama, kesantrian dan kepesantrenan, bahkan semua konsep/ilmu terkait usaha (al-kasab) bersumber dari ajaran Islam yang diatur dalam Syariah diwujudkan dalam muamalah, buktinya semua produk ekonomi syariah dasarnya adalah akad tanpa akad usaha/bisnis itu bathal. Manakala bathal maka tidak ada pahala berkah. Sementara kalangan penganut ekonomi Syariah atau ekonomi Islam berpandangan bahwa ekonomi Syariah itu adalah ilmu perilaku yang terkait dengan usaha manusia untuk menentukan bisnis yang akan dijalankannya melalui ilmu ekonomi empiric kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam, sepanjang tidak menyalahi prinsip Syariah itulah ekonomi Syariah. Jadi basis epistemologisnya tidak berasal dari ajaran Islam (Alquran dan Assunnah) tetapi dari ilmu empiric (konvensional). Peran dan kontribusi penganut pandangan ini sangat besar terutama pada awal-awal pengaplikasian ekonomi Syariah di tanah air peran ulama, cendekiawan muslim, pengusaha muslim, dan pemerintah sebagai buktinya. Master Plan Ekonomi Syariah 2019-2024 yang diterbitkan Bappenas sangat didominasi dengan pandangan pemikiran ilmu ekonomi empiric yang disesuaikan dengan Syariah, hampir konsep-konsep Syariahnya tidak kelihatan. Manakala kedua konsep/pandangan itu dibebaskan tumbuh tanpa diimbangi dengan kajian mendalam dan tanpa sinkronisasi pertimbangan hakikat dan rumpun keilmuan, seperti sekarang ini sebenarnya telah terjadi kompetisi kurang sehat secara hiden (diam-diam) di antara pemerhati/pelaku ekonomi Syariah berlatar belakang ilmu ekonomi empiric memahami seakan-akan dari sanalah asalnya. Sementara luaran fakultas Syariah/jurusan muamalah juga memandang ilmu muamalah itulah dasarnya berusaha secara syariah dan sudah banyak diatur dalam kitab-kitab fikih oleh para fuqoha/mujtahid sejak awal keislaman hingga kini, meskipun tetap tetap disadari kurang aplikatif. Disamping itu, jika kajian ini tidak dikendalikan secara perlahan akan mengkristal pandangan dualistis dan secara akademik kurang elegan dan tidak memenuhi syarat objektif dan sistematis dalam konteks filsafat ilmu. Sifat ambiguitas dalam Syariah itu sangat dibenci karena memiliki kemiripan yang tinggi dengan ‘kemusyrikan’, sebab itu segala sesuatunya harus bersumber dari Alquran . Dan Alquran itu sendiri sangat akomodatif terhadap segala sesuatu sepanjang dilakukan secara benar dan sesuai prinsip-prinsip Syariah, minimal dengan pendekatan kaidah fikih al-adatu muhakkamah. Dan Alquran jangan hanya dijadikan sebagai sarana legitimasi dan justifikasi, dalam dunia ilmiah hal ini terdapat kemiripan dengan plagiarism. Secara operasional kedua pandangan tersebut telah berkolaborasi indah dalam pengembangan ekonomi Syariah di Indonesia dengan peran-peran luar biasanya. Pembentukan dan pengelolaan kegiatan ekonomi berbasis Syariah umumnya dilakoni oleh penguasa dan praktisi ekonomi muslim dengan latarbelakang ilmu ekonomi empiric terutama pendirian bank umum Syariah, BSM, pembiayaan sindikasi, dan sector ekonomi Syariah lainnya. Selanjutnya dibackup oleh ahli Syariah/fikih muamalah oleh MUI melalui DSN-MUI yang berfungsi ‘menggawangi’ atau menjaga sekaligus menjamin semua produk yang halalan tayiiban melalui instrument Fatwa DSN-MUI. Hal ini sangat efektif hingga saat ini jika dilihat dari tataran operasionalnya, disini penguatan fikih muamalah sudah menjadi sebuah kemutlakan. Sementara para tataran kajian fiosofisnya, masih menyisakan problem akademik yang mendasar yaitu terkait dengan aspek epistemologis dan ontologis disiplin ekonomi Syariah manakala akan dibedakan dengan fikih muamalah. Untuk kajian aksiologis tidak terlalu bermasalah karena memungkinkan untuk disesuaikan dengan orientasi kesyariahannya. Dan kemungkinannya akan melahikran sebuah konsep utuh atau konsep subordinatif dari keduanya.
- Asosiasi keilmuan ini fokus pada bidang hukum atau Syariah yang berorientasi pada pengusaan Syariah dan fikih muamalah dan hukum positif dalam rangka penguatan dan pengembangan materi Hukum Ekonomi Islam pada Pendidikan tinggi. Roh jihad ilmiah harus terus digelorakan terkhusus kepada penggiat, pengajar, peneliti, dan peminat ekonomi Syariah. Selain peran akdemik tersebut juga sungguh dibutuhkan kontribusi kritis terhadap pemahaman, pelaksanaan, dan output-outcome agar senantiasa diseralaraskan dengan Syariah, kaidah fikih, dan kaidah ilmiah, serta juga terus menjaga konsistensi kesyarihannya (sharia compliance). Secara yuridis (fiqhiyyah), landasan hukum penerapan ekonomi Syariah sudah cukup memadai jika kita tidak mau menyatakan belum memadai untuk operasionalnya, akan tetapi untuk pengembangannya masih kurang memadai. Dasar hukum negara terkait langsung dengan penerapan ekonomi Syariah masih terbatas dan itupun hanya untuk bidang-bidang tertentu saja, yaitu (1) UU Bank Syariah dan turunannya, (2) UU Sukuk (surat berharga) dan turunannya, (3) UU JPH dan turunannya, (3) UU Pengelolaan Zakat, (4) UU Wakaf, dan (5) UUPA dan turunannya, masih sangat terbatas sehingga untuk mendapatkan dukungan fasilitas negara dalam pengembangannya hanya bidang-bidang tersebut saja. Sementara banyak bidang lainnya belum memiliki dasar legitimate dari negara seperti asuransi, pertambangan, pasar modal, gadai, pariwisata, trading, koperasi, dst. Sehubungan dengan sulitnya menggolkan seubah UU dalam sistem kelegislasian di negeri ini apalagi untuk bidang-bidang yang dipandang urgen. Untuk hal ini diperlukan langkah strategis, yaitu dengan memperjuangkan Undang-Undang Pokok Ekonomi Syariah yang didalamnya mengakomodasi prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi Syariah pada semua bidang, sehingga nantinya departemen yang akan mengaplikasikan terkait bidangnya cukup membuat peraturan turunannya melalui peraturan pemerintah, permen, peratutan BI, Peraturan menkeu, peraturan menkop, perda/pergub/perbub, dan seterusnya. Pertimbangannya selain akan efektif karena akan menjadi rujukan pada semua departemen, dan juga akan mengurangi jumlah UU yang prosesnya sangat Panjang. Wallahu a’lam bisshawab.