Makassar, muisulsel.or.id – Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa membuka secara resmi acara fokus grup diskusi bedah buku KH Hasyim Asy’ari sebagai tokoh pemersatu umat Islam Indonesia karya KH Abdul Hakim Mahfudz yang merupakan cicit sang kyai, dan menghadirkan pemateri dari MUI Sulsel Prof Dr KH Muammar Bakry.
Bedah buku yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Islam Makassar (UIM) Al-Gazali, Rabu 4 Desember 2024 dihadiri oleh sejumlah rektor universitas, para guru besar, dan ribuan pengurus Muslimat NU dari berbagai daerah se Sulawesi Selatan memadati gedung kampus.
Menurut Khofifah, ini adalah buku yang dahsyat secara substansi. Memang buku ini terlihat kecil, dan untuk membacanya tidaklah sampai 3 jam sudah selesai, buku ini mudah dibaca tapi sulit untuk pelaksanaannya.
“Menjaga bangsa menjadi tugas kita semua. Sebagaimana pesan dari pendiri NU Kyai Haji Hasyim Asy’ari bahwa hukum membela negara dan mengusir penjajah adalah fardhu ain. Oleh karenanya setiap dari kita memiliki kewajiban untuk membela dan memperjuangkan bangsa ini,” ucapnya dalam sambutan.
Lebih lanjut Khofifah menegaskan bahwa sosok pemersatu bangsa umat Islam ini menjadi satu kebutuhan penting bagi negara besar seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 714 suku bangsa, ribuan bahasa daerah, adat dan juga budaya.
Narasi persatuan, menjaga keutuhan sebuah bangsa menjadi satu hal yang harus terus digaungkan. Terutama dengan kondisi dunia saat ini yang banyak terjadi peperangan dan juga konflik.
Khofifah juga menegaskan bahwa salah satu hal penting yang diajarkan oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari adalah referensi tentang agama dan nasionalisme. Bahwa dua hal ini adalah dua kutub yang tidak bertentangan.
“Jangan buat pertentangan antara agama dan nasionalisme. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan,” tandas Gubernur Jawa Timur ini.
Itulah kemudian kata Khofifah, dalam NU terciptalah Yalal Wathan, bahwa hubbul Wathan minal iman. Cinta tanah air adalah sebagian dari iman titik Konsep ini menjadi titik temu antara agama dan nasionalisme yang dikenalkan oleh Nahdlatul Ulama.
“Beliau juga pernah menyampaikan jika di NU ada seribu orang maka aku ada di sana. Jika di Nu ada seratus orang maka percayalah aku ada di sana. Dan jika di Nu ada sepuluh orang maka aku juga ada di sana, dan jika hanya satu orang NU maka akulah orangnya, ucap Menteri Sosial ini pada masanya.
Ia juga berharap agar hal ini menjadi referensi yang juga berlaku di kalangan Muslimat NU.
Kontributor: Nur Abdal Patta