■ Oleh: Shamsi “Utteng Al-Kajangi” Ali
OPINI, muisulsel.com — Malam ini saya akan memberikan materi kepada peserta NUVHA. Nuvha atau Nusantara Virtual Halaqah adalah program pekanan remaja/pemuda Nusantara yang menjadi bagian dari program Pesantren Nur Inka Nusantara Madani di Amerika.
Sambil mencoba memikirkan kerangka materi tentang urgensi menghormati orang tua, tiba-tiba terpikir kembali betapa lemahnya remaja masa kini dalam menghadapi lalu lintas pemikiran yang berkembang. Pemikiran-pemikiran nyeleneh, bahkan menyesatkan, begitu kerap mendominasi dunia remaja kita.
Sesungguhnya jika kita ikuti secara jeli pemikiran-pemikiran nyeleneh itu, ada dua hal yang dominan sebagai karakternya. Satu, ada permainan kata yang penuh muslihat dan penipuan. Dua, ada kelicikan logika.
Permainan kata yang kita maksud adalah melontarkan sebuah isu secara samar-samar, tapi dengan kata yang menyesatkan. Contoh terdekat adalah ketika seseorang mengatakan: “Tidak ada perintah sholat lima waktu dalam Al-Quran”.
Perhatikan baik-baik. Renungi dalam-dalam. Sekiranya yang mendengarkan itu tidak jeli memahami maksud dari Kalimat itu maka pasti kesimpulannya: “Al-Quran tidak mewajibkan sholat lima waktu”. Walaupun kalimatnya seperti tadi: “Tidak ada perintah sholat lima waktu dalam Al-Qur’an.
Di sìnilah anak-anak remaja dan pemuda kita akan merasa tidak terlalu penting untuk menjalankan sholat 5 waktu. Toh Al-Quran tidak mewajibkan. Sungguh komunikasi yang sangat misleading alias menyesatkan.
Contoh lain permainan kata-kata yang menyesatkan adalah: “Saya Muslim tapi saya tidak yakin dengan Syariah”. Sebenarnya ini permainan kata untuk membangun rasa “phobia” (takut) bahkan kebencian kepada aturan-aturan yang diajarkan Islam. Dengan kata-kata yang memang sering dipakai sebagai ekspresi “phobia” itu orang akan berasumsi bahwa Syariah itu adalah “bengis, keras, inhumane (tidak manusiawi) bahkan berbahaya.
Sementara logika yang licik juga sering didemonstrasikan untuk mengelabui bahkan menyesatkan banyak Umat dan remaja/Pemuda Muslim khususnya. Kelicikan logika ini seringkali didemonstrasikan seolah akal sehat, pemikiran rasional, wawasan luas, dan seterusnya. Ketika kemudian ada pendapat paradoks darinya maka serta merta akan dituduh sebagai pemikiran irrational dan wawasan sempit.
Contoh dari logika licik itu adalah ketika seseorang mengutip hadits Rasul: “Barangsiapa yang akhir kalamnya laa ilaaha illa Allah maka dia masuk syurga”. Permainan logika kemudian dipakai dengan mengatakan secara tidak jujur bahwa Islam itu mementingkan “bekerja” bahkan “berjuang” atau berdarah-darah dalam bahasa orang tersebut. Dan bukan hanya “kata” seperti pada hadits itu.
Permainan logika nan licik ini sangat berbahaya. Satu, karena dengan pikiran yang sederhana orang akan berkata jika hadits itu tidak benar. Dua, Islam itu bukan agama serius. Apalagi dipolesi dengan kata-kata: “emangnya Barbie”…
Padahal kalau saja logika yang disampaikan itu jujur maka pastinya akan dipahami bahwa hadits itu benar. Pertama, karena kita memang yakin bahwa seseorang itu masuk syurga karena Rahmat Allah. Dan kita tidak tahu Rahmat itu datang kapan dan karena apa.
Kedua, kata “qaulun” (perkataan) dalam bahasa Arab tidak saja perkataan lisan. Tapi bisa berarti ekspresi akhir dari seseorang yang menggambarkan laa ilaaha illa Allah. Artinya ketika seseorang mengucapkan Kalimat Tauhid itu berarti hidupnya telah dilalui di atas Kalimat Tauhid itu.
Tapi namanya juga permainan logika yang licik yang juga disampaikan dengan permainan, memang bertujuan mengelabui dan menyesatkan Umat.
Contoh lain dari permainan logika yang licik adalah pernyataan kalau Islam itu tidak sempurna. Anehnya orang yang mengatakan demikian justeru mengutip ayat Al-Quran: “Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu, dan aku penuhi kepadamu nikmatku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu”.
Kelicikan logika dengan permainan kata-kata ini sangat berbahaya. Dengan ungkapan jika Islam tidak sempurna maka agama ini tidak bisa menjadi acuan hidup. Karena untuk apa sesuatu yang tidak sempurna menjadi jaminan pegangan hidup?
Saya justeru menganggap ini logika aneh bahkan terbalik (twisted). Karena kesempurnaan Islam bukan saja telah menjadi kesepakatan Umat. Tapi memang ditegaskan secara terbuka oleh Al-Quran seperti yang disebutkan tadi.
Seandainya orang tersebut punya logika sehat maka dia akan menerima bahwa Islam itu sempurna. Yang tidak sempurna adalah orang Islam yang terus perlu menyempurnakan diri, baik dalam pemahaman maupun amalan. Islam itu sempurna. Tapi Muslim selalu dalam proses menuju kepada kesempurnaan.
Itulah yang ditegaskan dalam Al-Qur’an: “wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan takwa yang sesungguhnya. Dan jangan mati kecuali dalam keadaan Muslim” (Al-Imran: 102).
Artinya untuk mati sebagai seorang Muslim perlu proses. Proses itulah yang diekspresikan dengan kata-kata: “bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sesunguhnya”.
Oleh karena Muslim itu berproses maka seorang Muslim tidak sempurna. Kadar keislaman akan terukur dan ketahuan ketika seseorang telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Yang ingin saya sampaikan adalah Umat ini harus berhati-hati dengan kecenderungan kelompok orang-orang seperti ini. Mereka pintar bermain kata dengan logika yang terkadang torbolak balik (twisted mind).
Dan kalau ini semua dijadikan dasar gerakan Moderasi saya khawatir justeru Moderasi yang harusnya positif bahkan harus berbalik menjadi negatif dan berbahaya. Karena jika Moderasi dipahami sebagai pengalihan pemahaman agama dari “jalan lurus” ke “jalan nyeleneh” maka dengan sendirinya hanya akan mengganggu singa yang sedang menikmati ketenangan dzikir…hehe.■
Chapin home, 5 Nopember 2021