SELAMAT DATANG! PARA HAJI ATAU DAJI?

Muammar Bakry

Setelah semua rangkaian ibadah haji telah selesai, secara berangsur jamaah haji kembali ke tanah air. Kurang lebih sebulan mereka ditempa dengan lingkungan dan alam tanah haram yang penuh dengan berkah.

“Pesantren” haji diharapkan membentuk karakter yang lebih baik bagi para haji untuk menjadi referensi keteladanan di tengah masyarakat. Tanda kemabruran dalam sebuah riwayat disebutkan demikian, selain ada peningkatan pasca melaksanakan ibadah haji. Semakin banyak yang sudah haji, semakin banyak contoh kebaikan yang menjadi penguatan dalam struktur sosial.

Haji yang juga seakar dengan kata “hujjah” berarti kekuatan, baik personal maupun komunal. Menjadi simbol kesempuranaan pengamalan Islam seperti yang dimuat dalam rukun Islam sebagai rukun terakhir yang dilaksanakan di bulan terakhir kalender hijriyah.

Jika dianalogikan dengan bangunan, bangunan Islam diawali dengan syahadat sebagai pondasinya, lalu diperkuat dengan salat sebagai tiangnya, selanjutnya zakat dan puasa sebagai dindingnya dan terakhir haji sebagai atapnya.

“Atap” haji bisa dimaknai sebagai simbol bangunan keislaman seseorang. Maka orang yang sudah melaksanakan haji, boleh menandai simbol pada dirinya seperti manaruh huruh (H) atau kata “Haji” sebelum namanya. Atau mungkin seperti yang lazim terlihat dalam budaya masyarakat Indonesia terutama masyarakat bugis makassar ketika jamaah haji tiba, mereka menggunakan pakaian kebesaran dengan asesoris haji seperti songkok putih, sorban, jubah dan lain-lain.

Dengan simbol yang melekat pada diri seorang haji, akan membuatnya selalu mawas diri dari hal-hal yang bisa mengurangi kewibaannya sebagai publik figur. Selalu berusaha tampil sempurna dengan prilaku dan akhlak yang baik. Strata sosialnya sudah terkesan mapan dengan kemampuan finansialnya yang cukup untuk biaya ONH (ongkos naik haji) yang tidak sedikit.

Tampil dengan simbol dan titel haji bukanlah suatu larangan jika tidak didasari pada riya dan sum’ah (mau dikata). Tapi jika ada upaya menjaga diri dari hal-hal yang buruk atau sebagai wujud penghormatan dan pemuliaan Tanah Haram dan Manasik Haji yang pernah dinikmati selama berada di “Pesantren” haji, maka adalah sikap dan niat yang mulia.

40 hari hijrah ke tanah haram diharapkan bisa menghadirkan karakter yang baik pada diri seseorang, gelar haji adalah perjuangan (jihad) sepanjang hayat untuk bertahan sebagai teladan kehidupan. Berbagai cara telah dilakukan untuk dapat mewujudkan itu, mulai dari pelajaran berihram, tawaf, sa’i, melontar, wukuf, tahallul hingga doa-doa yang dipanjatkan selama proses haji adalah proses empowering yang sangat dahsyat dalam memberi efek pada diri seseorang.

Kepada mereka kita ucapkan “Selamat datang para Haji” yang siap menjadi pilar dalam struktur sosial bangsa Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. Siap menjadi motor penggerak peradaban menuju masyarakat yang berkerakter.

Selain kekuatan spiritual yang diperoleh dari ibadah haji, peluang memperoleh keuntungan finansial bisa juga didapatkan. Ibadah sambil berbisnis adalah kesempatan yang bisa dilakukan bagi yang melihat peluang itu. Demikian ayat QS. Al-Baqarah: 198 menjelaskan hal itu.

Semakin banyak telapak kaki di satu tempat, semakin banyak potensi bisnis yang dihasilkan. Tidak ada hari yang terlewat dalam setiap menitnya, kecuali kepadatan manusia di Makkah dan Madinah.

Jika ke tanah haram hanya maksud bisnis dan berdagang, maka bukan dinamakan Haji, tapi disebut dengan “Daji”. Para daji yang berbisnis di Makkah memperoleh banyak keuntungan material yang luar biasa. Berbisnis sambil beribadah atau beribadah sambil berbisnis untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat adalah hal yang disebutkan dalam doa “Rabbanaa aatina fiddunnyaa hasanah wafil akhirati hasanah waqinaa ‘azabannar”. (QS. Al-Baqarah:201).

Kebaikan dunia dan akhirat selalu tertaut dalam lirik doa-doa yang dipanjantkan. Mereka yang mentautkan doanya dengan akhirat, akan memperoleh pahala dari semua usaha dunianya, demikian makna QS. Al-Baqarah: 202.

Karena boleh jadi ada yang memanjatkan doa hanya untuk pengharapan dunia semata seperti harta, kedudukan, dan seterusnya. Mereka yang hanya berorientasi seperti ini mungkin hanya digelar sebagai Daji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.