REVITALISASI NILAI SIPAKALEBBI: Strategi Memperkuat Keharmonisan Sosial di Era Disrupsi Digital

Munawir Kamaluddin

Dalam dinamika interaksi sosial, manusia tidak hanya membutuhkan kecerdasan logika atau kemampuan berpikir yang brilian.

Lebih dari itu, ada elemen yang jauh lebih penting, yakni etika dan tata krama dalam bertutur kata, baik dalam lisan maupun tulisan.

Kehidupan yang harmonis dan bermartabat tidak terwujud semata-mata karena kehebatan intelektual atau keindahan kata-kata yang tersusun dengan cerdas, tetapi karena adanya penghormatan yang tulus terhadap nilai-nilai moral dan adab.

Sipakalebbi, sebuah filosofi luhur dari masyarakat Bugis-Makassar, menjadi pengingat akan pentingnya penghormatan dalam setiap interaksi.

Konsep ini mengajarkan bahwa saling memuliakan bukanlah sekadar norma sosial, tetapi sebuah landasan untuk menjaga keimanan, keharmonisan, dan kesinambungan hubungan antarmanusia.

Dalam tradisi ini, berbicara santun dan menyapa dengan penghormatan adalah bagian dari akhlak yang mendekatkan seseorang kepada Allah sekaligus merekatkan hubungan sosial. Allah SWT berfirman:
وَقُل لِعِبَادِي يَقُولُوا ٱلَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik.'”
(QS. Al-Isra: 53)

Firman ini menegaskan bahwa tata cara bertutur bukan hanya persoalan duniawi, tetapi juga berkaitan dengan tanggung jawab spiritual. Sebuah kata yang lembut mampu menghangatkan hati, memperbaiki hubungan, dan menjadi jalan menuju keberkahan.

Sebaliknya, kata-kata yang kasar atau tidak beretika, meskipun sarat logika dan intelektual, sering kali melukai perasaan dan memicu konflik.

Dalam era digital yang serba cepat, di mana media sosial menjadi ruang utama komunikasi, nilai Sipakalebbi semakin relevan.

Teknologi memudahkan manusia untuk bertukar pikiran, tetapi sering kali mengabaikan aspek-aspek penting seperti penghormatan, kesantunan, dan tata krama. Komentar pedas, kritik yang kasar, atau ucapan yang tidak pantas dengan mudah tersebar, menciptakan jurang pemisah yang mengancam keharmonisan sosial. Rasulullah SAW.bersabda:
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Perkataan yang baik adalah sedekah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menggambarkan bahwa pilihan kata yang baik bukan hanya bentuk adab, tetapi juga ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam setiap ucapan yang santun, terselip pahala yang memperkuat hubungan sosial sekaligus menjaga keimanan.

Sipakalebbi menempatkan etika dan tata krama di atas kehebatan berpikir dan kecerdasan intelektual.

Ia mengajarkan bahwa penghormatan terhadap orang lain, terutama mereka yang lebih tua, berilmu, atau memegang tanggung jawab, adalah kunci keharmonisan.

Dalam budaya Bugis-Makassar, penghormatan ini terwujud melalui penggunaan gelar yang sesuai, bahasa yang halus, dan sikap rendah hati dalam berbicara.

Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang memuliakan manusia melalui tata cara berkomunikasi yang santun. Allah SWT berfirman:
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًۭا لَّيِّنًۭا
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.”
(QS. Thaha: 44)

Kehadiran ayat ini menjadi bukti bahwa bahkan dalam menghadapi pihak yang keras hati sekalipun, kelembutan dan kesantunan tetap menjadi jalan terbaik.

Menghidupkan nilai Sipakalebbi dalam interaksi sosial, baik di dunia nyata maupun maya, adalah upaya untuk menjaga keharmonisan, kearifan lokal, dan keberlanjutan hubungan.

Ketika tata krama diterapkan, setiap percakapan menjadi ruang yang penuh dengan penghormatan, dan setiap sapaan menjadi tali yang menguatkan ikatan.

Dengan demikian, komunikasi tidak lagi menjadi sekadar alat bertukar informasi, tetapi juga sarana untuk memperkuat persaudaraan, menjaga nilai keimanan, dan merekatkan hubungan sosial.

Melalui tulisan ini, mari kita resapi kembali pesan luhur Sipakalebbi. Sebuah pesan yang tidak hanya mengingatkan kita untuk berbicara dengan hati, tetapi juga untuk menyapa dengan adab, menulis dengan sopan, dan berkomunikasi dengan penghormatan. Semoga nilai ini menjadi lentera yang menerangi jalan, mengarahkan kita kepada keharmonisan sejati, dan menjaga hubungan sosial yang penuh makna.

Adab “Sipakalebbi”: Filosofi Kearifan Lokal Masyarakat Bugis-Makassar

Masyarakat Bugis-Makassar memiliki sistem nilai yang kaya akan etika dan tata krama. Salah satu nilai inti yang mengakar dalam budaya mereka adalah Sipakalebbi, yang berarti saling memuliakan. Filosofi ini tidak hanya menjadi pedoman dalam kehidupan sosial, tetapi juga menjadi wujud penghormatan kepada orang-orang yang dituakan, alim ulama, cendekiawan, dan pemimpin.

Dalam konteks ini, Sipakalebbi mencakup penggunaan kata-kata yang santun, sikap rendah hati, dan penghormatan dalam komunikasi, terutama kepada mereka yang memiliki kedudukan atau wewenang tertentu.

Pendekatan Filosofis tentang Sipakalebbi

Secara filosofis, Sipakalebbi berakar pada pandangan hidup yang memuliakan martabat manusia. Konsep ini mengajarkan bahwa setiap manusia layak diperlakukan dengan hormat, terutama kepada mereka yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan tanggung jawab yang besar.

Dalam Islam, penghormatan terhadap orang lain, terutama mereka yang lebih tua atau memiliki kedudukan tertentu, adalah prinsip yang dijunjung tinggi. Firman Allah:
وَقُل لِعِبَادِي يَقُولُوا ٱلَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ كَانَ لِلْإِنسَٰنِ عَدُوًّا مُّبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.’ Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
(QS. Al-Isra: 53)

Ayat ini menjadi dasar bahwa komunikasi harus dilandasi oleh pilihan kata yang baik dan santun.

Dimensi Psikologis dan Sosiologis Sipakalebbi

Secara psikologis, sikap hormat dan santun dalam Sipakalebbi menciptakan hubungan yang sehat antara individu.

Kata-kata yang baik mampu menenangkan hati, mempererat hubungan, dan mencegah konflik. Rasulullah SAW.bersabda:
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Perkataan yang baik adalah sedekah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan dalam dimensi sosiologis, Sipakalebbi memperkuat kohesi sosial. Ketika masyarakat saling memuliakan, struktur sosial menjadi lebih harmonis dan stabil.

Etika Perilaku dalam Sipakalebbi

Adab kepada orang yang dituakan, alim ulama, pemimpin, cendekiawan dll. mencakup:

1. Bersikap Santun dalam Menyapa
Menyapa dengan gelar atau panggilan yang sesuai, misalnya puang, andalan, atau gelar kehormatan lainnya.

Dalam Islam, memberikan panggilan yang baik sangat dianjurkan:
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”
(QS. Al-Hujurat: 11)

2. Menggunakan Bahasa yang Halus dalam Berbicara
Dalam berdiskusi atau berkomunikasi, kata-kata harus disampaikan dengan penuh kelembutan, sebagaimana Allah memerintahkan Musa dan Harun saat menghadapi Fir’aun:
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًۭا لَّيِّنًۭا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut.”
(QS. Thaha: 44)

3. Menjaga Sikap Rendah Hati
Sikap rendah hati kepada mereka yang lebih tua atau berilmu menunjukkan penghormatan yang tulus. Rasulullah SAW. bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda.”
(HR. Tirmidzi)

Karakter Sipakalebbi dalam Perspektif Pedagogik

Dalam pendidikan, nilai Sipakalebbi harus diajarkan sejak dini untuk membentuk karakter yang santun dan beretika. Beberapa langkah yang dapat diterapkan:

1. Pendidikan Nilai di Rumah
Orang tua perlu mengajarkan anak-anak untuk menggunakan bahasa yang santun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

2. Integrasi dalam Kurikulum Sekolah
Sekolah dapat memasukkan nilai-nilai Sipakalebbi dalam pendidikan karakter, seperti melalui pelajaran agama dan budaya.

3. Keteladanan Guru dan Pemimpin
Guru dan pemimpin harus menjadi contoh dalam menunjukkan penghormatan kepada sesama.

Solusi dalam Menghidupkan Sipakalebbi di Era Modern

Menghidupkan kembali nilai Sipakalebbi dalam era modern membutuhkan langkah konkret, di antaranya:
1. Meningkatkan Literasi Budaya dan Agama
Dengan memahami budaya Sipakalebbi dan tuntunan Islam, masyarakat akan lebih menghargai pentingnya tata krama.

2. Membangun Kesadaran Kolektif
Penyuluhan dan diskusi di komunitas dapat menjadi cara untuk menguatkan kembali nilai ini.

3. Memanfaatkan Teknologi Secara Bijak
Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan yang mengingatkan pentingnya adab dan sopan santun.

Sehingga dengan demikian maka prinsip dan filosofi hidup Sipakalebbi adalah cerminan dari nilai luhur yang menekankan penghormatan dan kesantunan dalam komunikasi.

Dengan memahami dan menerapkan nilai ini, masyarakat Bugis-Makassar tidak hanya menjaga harmoni sosial tetapi juga merepresentasikan ajaran Islam yang memuliakan manusia.

Melalui Sipakalebbi, hubungan antarindividu, terutama dengan mereka yang dituakan atau memiliki kedudukan tertentu, menjadi lebih bermakna, penuh hormat, dan jauh dari konflik.

PENUTUP

Interaksi sosial bukanlah semata-mata arena untuk unjuk kecerdasan berpikir atau kemampuan logika yang tajam.

Ia lebih dari sekadar permainan kata-kata indah yang memikat akal, namun sering kali melupakan hati. Di balik semua itu, ada tanggung jawab yang lebih mendalam: menjaga harmoni dengan etika dan tata krama.

Dalam setiap kata yang diucapkan, dalam setiap tulisan yang diketik, tersembunyi potensi untuk membangun atau menghancurkan.

Manusia sering kali terjebak dalam bayang-bayang kehebatan intelektualnya. Mereka berlomba-lomba untuk mengukir kesan, memperlihatkan keunggulan, hingga lupa bahwa kata-kata yang tak beretika adalah senjata yang paling tajam.

Dalam dunia maya yang serba instan, di mana media sosial menjadi panggung utama, batas-batas kesantunan sering kabur, tersapu oleh hasrat untuk diakui dan didengar. Maka, lahirlah komentar pedas, perdebatan tanpa makna, dan sapaan yang dingin tanpa rasa hormat.

Namun, apakah kita lupa bahwa kata-kata tidak hanya mencerminkan isi pikiran, tetapi juga jiwa? Bahwa ucapan, baik lisan maupun tulisan, memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang lebih baik atau justru sebaliknya?.

Dalam Islam, tata krama adalah cermin keimanan. Rasulullah SAW.bersabda dan memberikan tuntunan hidup diantaranya:
إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya, yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kehebatan seseorang tidak diukur dari keunggulan intelektualnya, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan orang lain dengan santun.

Kesantunan ini menjadi pijakan yang kokoh untuk menjaga keharmonisan, kearifan lokal, dan kesinambungan interaksi.

Sayangnya, di tengah modernitas yang mengagungkan kebebasan berekspresi, adab sering kali terpinggirkan. Sapaan yang dulu penuh makna kini menjadi sekadar formalitas. Bahasa yang dulu penuh kehangatan kini berubah menjadi simbol kekakuan. Kita lupa bahwa interaksi sosial yang sejati tidak hanya melibatkan pikiran, tetapi juga hati.

Etika adalah jembatan antara intelektualitas dan rasa. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap interaksi, kepekaan terhadap perasaan orang lain adalah hal yang utama. Kita diajarkan untuk tidak hanya berkata benar, tetapi juga berkata baik. Allah SWT berfirman:
وَقُولُوا۟ لِلنَّاسِ حُسْنًۭا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 83)

Pesan ini sederhana, tetapi mendalam. Ia mengingatkan bahwa ucapan yang baik tidak hanya menjaga hubungan antarindividu, tetapi juga menjaga keberkahan hidup.

Ketika kata-kata keluar dari hati yang penuh hormat, ia akan sampai kepada hati yang lain dengan kehangatan yang sama.

Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan moral di era global ini, kita harus kembali pada prinsip dasar interaksi sosial: menjunjung tinggi adab dan tata krama.

Dengan menjaga kehalusan dalam bertutur, kelembutan dalam menyapa, dan kesantunan dalam menulis, kita bukan hanya menjaga hubungan sosial, tetapi juga memperkuat keimanan dan mempertegas identitas budaya kita.

Marilah kita menjadikan setiap interaksi sebagai ladang pahala, tempat di mana keindahan akhlak bersinar lebih terang daripada kehebatan berpikir.

Mari kita jaga setiap kata, karena ia adalah cermin jiwa. Semoga dengan demikian, kita mampu menciptakan harmoni yang abadi, tidak hanya dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta.# Wallahu A’lam Bishawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.