Soal Vonis PN Surabaya, MUI Sulsel Ingatkan Pernikahan Beda Agama Tak Sah

Makassar, muisulsel.com – Vonis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mencatatkan sejarah. PN Surabaya mengizinkan nikah beda agama, antara RA dan EDS. Ini diklaim keputusan yang pertama dalam sejarah peradilan Indonesia dan mengundang kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel pun angkat bicara.

MUI Sulsel melalui Sekertaris Umum Dr KH Muammar Bakry Lc MA mengingatkan, pernikahan beda agama tidak sah dalam Islam.

Menurutnya, Islam hanya membolehkan lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslim dengan syarat harus perempuan tersebut masuk Islam dulu sebelum menikah.

Sebagaimana Allah berfirman, “Dan janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia mengagumkan bagi kalian (QS Al-Baqarah 221).

Ayat tersebut secara tegas melarang lelaki muslim menikah dengan perempuan musyrik meskipun wanita itu sangat menawan dan menarik perhatian.

Tak hanya untuk lelaki, Allah juga melarang perempuan muslimah menikah dengan lelaki non muslim. Allah menegaskan, “Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu (Al-Baqarah: 221).

Tak hanya hukum Islam, secara aturan di Indonesia juga tegas melarang pernikahan beda agama. Aturan ini tertuang dalam UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1)

Disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Lebih rinci pula pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Pasal 40 : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain: dan seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawina ndengan seorang pria yang tidak beragama Islam”

Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:

Pasal 4 : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan”.

Pasal 40 : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain: Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain, dan seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Nikah beda agama juga akan berakibat fatal bagi lingkungan keluarga. Hal ini berdampak negatif pada pertumbuhan keluarga dan anak yang dibinanya karena masing-masing berbeda pandangan.

Antara lain masalahnya, anak atau cucu non muslim tidak bisa menerima warisan dari orangtuanya meskipun garis keturunannya jelas.

“Mayoritas ulama sepakat bahwa perkawinan wanita muslimah dengan lelaki non muslim hukumnya tidak sah. Adapun lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslim maka ulama masi berbeda pendapat,” rinci Imam Besar Masjid Al Markaz Al Islami tersebut.

Vonis PN Surabaya Bersejarah

Seperti diberitakan republika.co.id, Selasa 21 Jun 2022, vonis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengizinkan nikah beda agama, antara RA dan EDS.

Kasus itu bermula ketika pemohon RA dan EDS mengajukan gugatan ke PN Surabaya. Pemohon mendaftarkan perkara nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby pada Rabu, 13 April 2022.

RA beragama Islam, kelahiran 1986. EDS beragama Kristen, lahir tahun 1991.

Dari risalah putusan yang bisa diakses di laman resmi Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (21/6/2022), keduanya sama-sama tinggal Ketintang, Kota Surabaya, Jawa Timur.

Dalam mengajukan gugatan, salah satu bukti yang dilampirkan RA dan EDS adalah fotokopi surat keterangan nikah No.1.433/HMM/III/2022 tertanggal 23 Maret 2022 dan fotokopi piagam pernikahan gerejawi Nomor 373/NIK/GKN-RAEDS/III/2022 tertanggal 23 Maret 2022. Dari keterangan dua saksi yang dihadirkan, para pemohon tercatat sudah menikah secara agamanya masing-masing. Setelah melalui persidangan maka diputuskan pada Selasa, 26 April 2022.

Setelah melalui persidangan di Ruang Kartika 1 PN Surabaya, hakim tunggal Imam Supriyadi dibantu panitera pengganti Fitri Indriaty mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Hakim juga memberikan izin kepada para pemohon yang berbeda agama untuk melangsungkan pernikahan berbeda agama di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Surabaya.

Selain itu, hakim memerintahkan kepada pegawai kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama para pemohon tersebut tersebut di atas ke dalam register pencatatan perkawinan. “Membebankan biaya permohonan kepada para pemohon,” demikian bunyi putusan dikutip di Jakarta, Selasa (21/6/2022).

Selain itu, hakim Imam juga menetapkan untuk memerintahkan kepada pejabat kantor Dinas Dukcapil untuk melakukan pencatan perkawinan beda agama para pemohon tersebut kedalam register pencatan perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan akta perkawinan tersebut. “Membebankan biaya permohonan kepada para pemohon sejumlah Rp 120 ribu,” demikian kutipan putusan hakim.

Salah satu pertimbangan hakim Imam adalah dari fakta yuridis yang terungkap dipersidangan, para pemohon telah bersepakat dan telah mendapat persetujuan dan izin dari kedua orang tuanya bahwa proses perkawinan dihadapan pejabat kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya, dan selanjutnya mereka telah sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

“Maka hakim pengadilan menganggap para pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan beda agama,” begitu bunyi putusan.

Hakim Imam juga menimbang, tata cara perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh para pemohon karena adanya perbedaan agama maka ketentuan dalam pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut.

Aturannya merujuk ke dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975, ditegaskan “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dengan dihadiri dua orang saksi.” (republika.co.id/muisulsel.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.