Apa Hukum dan Kajian tentang Sunat bagi Perempuan

TANYA MUI, muisulsel.com — Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatu. Saya ingin menanyakan tentang hukum dan kajian tentang P2GB (sunat bagi perempuan)

Dari +62 853 3065 44…

MUI MENJAWAB — Persoalan khitan bagi perempuan telah difatwakan oleh MUI Pusat yaitu pada Fatwa No.9A Than 2008 terkait Fatwa menolak larangan Khitan bagi perempuan. Bunyinya adalah “Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (kemuliaan). Pelaksanaannya sebagai ibadah yang dianjurkan.

Dalam tinjauan fikihnya memang terdapat perbedaan pendapat para ulama:

1. Pendapat Pertama. Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi (Hasyiah Ibnu Abidin: 5479), Mazhab Maliki (Al-Syarh Al-Shaghir: 2151), dan Syafii dalam riwayat yang syaz (lihat Al-Majmu1300).

Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib. Ia hanyalah fithrah dan syiar Islam. Khusus khitan bagi perempuan, mereka yaitu mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali memandang bahwa hukumnya Sunnah.

Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah SAW:


الخِتانُ سُنَّةٌ لِلرِّجالِ، مَكرُمَةٌ لِلنِّساءِ

“Khitan itu sunnah buat laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadis bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.

2. Pendapat Kedua. Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab Syafii (lihat al-Majmu 1284/285; al-Muntaqa 7232), Mazhab Hanbali (lihat Kasysyaf Al-Qanna180, dan al-Inshaaf 1123).

Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi perempuan. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan sunnah:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

“Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus (QS. Al-Nahl: 123). Dan hadis:

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ -عَلَيْهِ السَّلاَمُ- وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالقَدُّومِ

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Nabi Ibrahim as berkhitan saat berusia 80 dengan kapak” (HR Bukhari dan muslim). Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim as. karena merupakan bagian dari syariat kita juga”. Dan juga hadits yang berbunyi:

ألْقِ عنك شعرَ الكفرَ واختتِنْ

“Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR Ibn al-Qaffaal).

3. Pendapat Ketiga: Wajib bagi laki-laki dan kemulian bagi perempuan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan tapi tidak wajib.( Al-Mughni 185).

Di antara dalil tentang khitan bagi perempuan adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah SAW pernah menyuruh Ummu ‘Athiyyah, seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak perempuan. Rasulullah SAW bersabda:


لا تُنهِكي فإنَّ ذلك أحظى للمرأةِ وأحبُ إلى البَعل

“Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.”

Jadi untuk perempuan dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi perempuan lebih kepada sifat pemuliaan semata.

Hadits yang ada pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya menunjukkan adanya khitan perempuan dan menjelaskan tatacaranya.

Di zaman Rasulullah SAW, wanita-wanita dikhitan dengan dalil bahwa Rasullah SAW bersabda:


إذا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Jika bekas khitan laki-laki menyentuh bekas khitan perempuan, maka telah wajib mandi” (HR. Muslim dari Aisyah R.A.)

Namun perlu diperhatikan bahwa khitan perempuan itu dilakukan saat mereka masih kecil dan caranya juga harus diperhatikan yaitu cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.

Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.

Sedangkan bila sudah dewasa, khitan tentu saja harus memperhatikan aspek kesehatannya, sebab tidak ditemukan dalil yang menunjukkan adanya khitan pada saat wanita dewasa, berbeda dengan laki-laki yang terkait masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga setelah dewasa, khitan tetap harus dilakukan.■

*) Oleh Tim Komisi Fatwa MUI Sulsel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.