Diskusi Zakat dan Pajak Bisakah Bersatu, Ketum MUI Paparkan Dua Solusi

Makassar, muisulsel.or.id – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan Prof Dr KH Nadjamuddin AS, Lc MA, memaparkan dua buah solusi yang disampaikannya dalam fokus grup diskusi (FGD) terkait zakat dan pajak di Gedung Mulo Mini Hall.

Diskusi yang berlangsung pada hari Selasa 10 September 2024 ini mengambil tema “Salah Paham Zakat dan Pajak, Bisakah Bersatu?” yang menghadirkan sejumlah narasumber, seperti MUI Sulsel, Kanwil DJP Sulsel, Baznas Sulsel, Kanwil Kementerian Agama Sulsel, dan Pembina LAZ Peduli Dakwah.

Dalam judul diskusi telah dipaparkan bahwa pengelolaan zakat dan wakaf di Indonesia berpeluang meningkatkan perekonomian umat. Namun lembaga pengelolanya juga harus berintegritas dan transparan. Sebab, penyimpangan dalam pengelolaannya, akan menggerus kepercayaan masyarakat.

Sementara itu sistem perpajakan berperan sebagai sumber andalan penerimaan negara dan menjaga keseimbangan ekonomi. Singkat kata, zakat merupakan pilar kesejahteraan masyarakat dan pajak merupakan pilar pembangunan negara di mana keduanya saling terkait.

KH Nadjamuddin dalam ulasannya mengungkapkan bagaimana hukum dari zakat dalam Islam yang bersifat wajib bagi seluruh umat Islam, apabila sudah memenuhi syaratnya.

“Ada beberapa hal pokok pikiran dari zakat ini. Yang pertama pengelolaan zakat di Indonesia yang baik akan berpeluang meningkatkan ekonomi umat, kemudian hendaknya lembaga pengelola amil zakat haruslah berintegritas dan transparan untuk menjaga kepercayaan umat. Sebab zakat kewajiban agama, sementara pajak kewajiban negara,” urainya saat menjadi narasumber.

Menurut uraiannya, KH Nadjamuddin mengatakan apakah bisa kewajiban membayar zakat disatukan dengan kewajiban membayar pajak. Pasalnya, jika melihat secara sepintas, kewajiban keduanya ini berasal dari sumber yang berbeda pula.

Sumber pajak tidaklah semuanya menjadi sumber zakat, dan sebaliknya sumber zakat tidak semuanya menjadi pajak. Sementara zakat haruslah memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh syariat agama.

“Pendistribusian pajak juga berbeda dengan peruntukan zakat, sehingga menjadi kendala untuk disatukan. Namun hal itu masih bisa kita carikan solusinya, selama keduanya mempunyai niat yang baik,” katanya.

Dirinya pun membeberkan dua solusi yang bisa menjadi bahan pemikiran bagi lembaga amil zakat dan Dirjen perpajakan, yang bertujuan untuk meringankan orang yang bayar zakat tidak lagi terbebani untuk membayar pajak.

“Solusi pertama adalah membayar zakat terlebih dahulu, kemudian membayar pajak setelah mengurangi jumlah yang wajib pajak dengan berdasarkan yang telah dibayar,” urai guru besar bahasa Arab kampus UINAM ini.

“Solusi kedua yakni, bisa juga membayar pajak terlebih dahulu kemudian membayar zakat mengikut jumlah nilai yang tersisa yang memenuhi syarat wajib zakat. Apabila pajaknya telah dibayarkan lalu di hitunglah berapa sisa zakatnya,” lanjutnya dalam uraiannya.

Ia mengatakan di akhir ulasannya bahkan apabila setelah membayar pajak lalu melihat sisanya dan hitungan zakatnya tidak memenuhi syarat, maka ia tidak lagi wajib membayar zakat karena tidak memenuhi nisabnya.

Acara ini di fasilitasi oleh PT. Radio An-Nashihah, dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan.

Kontributor: Nur Abdal Patta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.