Makassar, muisulsel.or.id – Di dalam lubuk sanubari seorang mukmin harus ada keimanan yang berwujud dan penuh kejujuran, iman ini juga mesti tercirikan dan mewarnai sikap dan perilaku tutur, bahasa tubuh dan prinsip hidup seorang mukmin sejati.
Dalam situasi agama dan nilai nilai ajaran direndahkan dan dilecehkan atau dipersepsikan secara sengaja dan secara menyimpang maka marah dihati dan marah dalam sikap diharuskan bila itu mencederai nilai nilai kebenaran agama :
{وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ الله فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ} [الحج: 30].
Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.
Mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat), berkonotasi menjaga harkat dari perendahan, penghinaan dan pelecehan, hati orang beriman itu marah bila hal semacam perendahan itu terjadi.
Azzajaj rahimahullah berkata hurumat adalah apa saja yang wajib dikerja dan apa saja harus ditinggalkan. Allaets rahimahullah berkata : hurumat adalah hal yang tak boleh dilanggar.
Kejadian cerita wanita almakhzumiyah dari kalangan bangsawan yang mencuri, yang dalam pandangan bangsawan Quraisy perlu dimaafkan dan dibijaki, hal ini terungkap dan terdeskripsikan dalam sebuah riwayat dari Aisyah RA, “Bahwasannya bangsa Quraisy memiliki atensi terhadap perkara perempuan yang mencuri dari kalangan bani Makhzum. Lalu mereka berunding mengenai siapa yang akan melobi Rasulullah SAW (untuk tidak menghukumnya). Akhirnya, mereka sepakat bahwa siapa lagi yang melobi Rasulullah SAW mengenai hal ini selain Usamah bin Zaid yang merupakan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Maka Usamah pun berusaha untuk melobi beliau. Kemudian, Rasulullah SAW menjawab :
((أَتَشْفَعُ في حَدٍّ مِنْ حُدُودِ الله؟))! ثُمَّ قامَ فَاخْتَطَبَ، ثُمَّ قَالَ: ((إنَّمَا أَهْلَك مَنْ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أقامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وَايْمُ الله، لَوْ أَنَّ فَاطمَةَ بِنْتَ مُحمّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعتُ يَدَهَا)). متفقٌ عَلَيْهِ.
“Wahai Usamah apakah engkau ingin meminta dispensasi atas hukum yang telah ditetapkan Allah SWT?”
Setelah itu, beliau berdiri dan menyeru: “sesungguhnya umat sebelum kalian celaka karena jika yang mencuri dari kalangan bangsawan mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri dari golongan masyarakat biasa mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, jika seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Marah hati dan sikap karena agama dilecehkan adalah bukti taqwa dan bila hati tidak bergeming saat kehormatan ajaran dan prinsip agama direndahkan adalah jauh dari sifat taqwa.
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati. (QS. Al-Hajj: 32)
Pemaknaan marah karena Allah Swt adalah penegakan keadilan, pembinaan, perlindungan, kesetaraan dan kemakmuran bagi seluruh insan, setiap mukmin hendaknya melihat berbagai problematika dengan pandangan pengentasan atau pencegahan keburukan. wallahu A’lam.