GORESAN PAGI: Standar Minimal Pemuliaan Tamu

Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)

Makassar, muisulsel.or.id – Tercatat dalam Al-Quran bahwa Nabi Ibrahim as adalah sebaik-baik penerima tamu dalam sejarah umat manusia, ia memperlakukan tamunya dengan sebaik-baik perlakuan.Tatkala tamu datang kepadanya, Nabi Ibrahim as menyambut mereka dengan sebaik-baik sambutan dan penghormatan, surat Az Zariyat 24-27 :

هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?

فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ

Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi (matang) gemuk.

فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan”.

فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَٰمٍ عَلِيمٍ

(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaak).

Memuliakan tamu keharusan bagi seorang muslim, karena tamu adalah anugerah Allah Swt pada yang didatangi, tentu seseorang perlu berhati hati, khususnya bila tamu tidak diketahui siapa dan mau apa, selama tamu itu aman maka tamu dimuliakan keberadaannya.

Diantara kewajiban seorang muslim atas manusia adalah memuliakan tamu secara adil dan terukur, memuliakan tamu diperintahkan Rasulullah Saw., kepada umatnya:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.

Rasulullah Saw menganjurkan jamuan maksimal pada tamu yaitu sesuai kemampuan dan kelonggaran, tentu dalam masa tenggat waktu penjamuan itu, rasul tentukan waktu penjamuan batasannya 3 hari saja, lebih dari tiga hari maka jamuan berfungsi sedekah dari yang menjamu terhadap yang di jamu.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ
قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ
فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ

Rasul Saw., bersabda : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah memuliakan tamu dan menjamunya?” mereka bertanya, “Apa yang dimaksud dengan menjamunya wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Yaitu pada siang dan malam harinya, bertamu itu tiga hari, lebih dari itu adalah sedekah bagi tamu tersebut.” H. R Muslim.

Sebaliknya etika dilakukan orang bertamu ialah tidak memberatkan pemilik rumah semaksimal mungkin, tidak memilih milih cara dan tipe penjamuan, yaitu hal yang dapat menyusahkan penjamu itu, maka tamu menerima ikhlas penjamuan dan pemuliaan secara senang hati dan baik.

Bila masa penjamuan berlangsung selesai yaitu tiga hari tiga malam, maka tamu tidak diperkenankan memberatkan penjamu, hendaklah si tamu itu mengkondisikan diri yaitu; tidak dijamu lagi tetapi ia menjamu dan melayani diri sendiri, bila ia masih memberatkan penjamu maka ia berdosa di sisi Allah pada saudaranya, karena ia telah melampaui batas, ia telah memberatkannya.

وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ أَخِيهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ قَالَ يُقِيمُ عِنْدَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ

Rasul Saw., bersabda: Tidak halal bagi seorang muslim bermukim di rumah saudaranya sampai saudaranya berdosa karenanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dia bisa berdosa?” beliau menjawab: “Dia bermukim di rumah saudaranya hingga saudaranya tidak punya apa-apa lagi untuk menjamunya.” H.R Muslim.

Menurut pesan-pesan para ulama bahwa penjamuan tamu dimaksimalkan adanya sehari semalam saja, penjamu harus melihat kondisi tamu, hal mendesak bantuan pada hajatnya dimaksimalkan sesuai kemampuan yang didatangi itu. Selebihnya pada hari kedua dan ketiga, disesuaikan kemudahan dan kelonggaran penjamu dalam keseharian.

Sebagai konklusi dapat dikatakan “Tamu yang datang itu hakekatnya adalah ujian Allah Swt di saat senang dan susah pada seorang muslim, semua terjadi karena kehendak Allah Swt, bila mereka diterima dengan baik maka itu artinya seorang muslim terima ketentuan Allah Swt, bila ia lalaikan tamunya maka ia lalaikan ketentuan Allah Swt pada dirinya “. Wallahu A’lam.

Irfan Suba Raya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.