Makassar, muisulsel.com – Hasan bin Abi Sinan berkata ; “Saya tidak melihat satu cara kehati hatian lebih simpel dari sikap Wara”. Aara yang berarti memilih tidak melakukan sesuatu karena kawatir ada hal keburukan di dalam perbuatan itu.
Imam Syafii rahimahullah adalah tokoh yang dikenal sangat wara dalam berpendapat dan berbuat. Wara ini adalah salah satu kehati-hatian yang besar pahalanya di sisi Allah swt, bisa saja manusia anggap termasuk perbuatan yang biasa namun luar biasa penilaian Allah Swt :
قَالَ الله تَعَالَى: {وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيمٌ} [النور: 15].
Kalian menyangka itu biasa namun di sisi Allah Swt itu besar.
Al-Kalbiy berkata : Wara adalah jalannya orang orang tekun beribadah, mereka itu wara. Bersikap wara hakekatnya membangun benteng spiritual dalam diri seorang muslim. Para ulama berpendapat bahwa adanya hal makruh itu jadi benteng antara hamba Allah dengan hal yang diharamkan oleh Allah, barang siapa perbuatannya selalu berbuat makruh maka ia berada pada yang haram, sedangkan hal Mubah itu adalah benteng antara hamba Allah antara dirinya dengan perbuatan makruh, barang siapa banyak berbuat mubah maka hakekatnya ia berbuat makruh.
Rasul saw menganjurkan sifat wara drngan cara tinggalkan was was dan keraguan dengan berbuat kepastian.
((دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ)).
Tinggalkan yang meragukanmu ke hal yang tidak meragukanmu.
Bercerita sesuatu berita yang tidak diketahui asal usul kebenarannya adalah tidak berbuat wara, dan itu berbuat syubhat yaitu berada pada garis demarkasi halal dan haram, seperti terjadi fitnah terhadap Aisyah ra bahwa ia dituduh berbuat buruk dengan seseorang, Allah Swt langsung memberitakan besarnya dosa fitnah twrhadap Aisyah ra itu dan itu ucapan2 yang tidak wara :
فقال تعالى: {إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ} [النور: 15]،
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
Hakekat ucapan yang polos dan tidak memperhitungkan benar tidaknya satu ucapan adalah hal yang tidak bermanfaat, melainkan akan dapat murka Allah Swt, maka hal itu dapat memasukkannya ke neraka
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إنَّ الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالًا يهوي بها في النار بُعْدَ مَا بين المشرق والمغرب)).
Sesungguhnya seseorang berbicara satu kata, hal itu menjadikan Allah murka yaitu ucapan yang tidak dapat diterima kebenaran akal, maka ucapannya itu membuat ia masuk neraka yang jauh kedalamannya seukuran jarak timur dan barat.
kewaraan seseorang apabila dibiasakan dan dijadikan perilaku dalam hidup, maka seseorang itu dikategorikan rmencapai derajat almuttaqiin:
((لا يَبْلُغُ الْعَبدُ أَنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ، حَذَرًا لِمَّا بِهِ بَأسٌ)). رواه الترمذي، وقال: (حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Seorang hamba tidak capai derajat muttaqiin hingga ia meninggalkan yang boleh demi terhindar dari yang tidak boleh.
Dalam kondisi yamg darurat dan sangat diperlukan maka wara ini diukur dalam kondisi pada kepastian halalnya sesuatu, seperti hal yang dikondisikan cerita Aisyah ra tentang daging yang belum diketahui disembelih dengan syariat Islam atau tidak sesuai syariat Islam, maka nabi sarankan:
وحديث عائشة رضي الله عنها: أن قومًا قالوا: يَا رسول الله إنَّ قومًا يأْتوننا باللحم لا ندري أَذكروا اسم الله عليه أَم لا؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((سَمَّوا الله عليه وكلوه)).
Sekelompok orang bertanya; ya rasulullah, ada sejumlah orang membawa daging ke kami, tidak diketahui iru disembelih dengan basmalah atau tidak, maka nabi saw bersabda :”basmalahlah dengan menyebut Allah lalu kalian makan daging itu.
Wara dan penuh kehati hatian adalah akhlak luhur orang beriman kepada Allah dan Rasul, karena kewaraan itu menunjukkan dalamnya keimanan seseorang.. wallahu A’lam.