Makassar. muisulsel.or.id – Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI Sulsel Prof Dr M Arfin Hamid SH MH menyampaikan dua hal penting yang harus dipahami dan diposisikan secara tepat yaitu ekonomi syariah dan zakat. Kedua hal tersebut perlu dicermati hubungan causalitas yang melekat antara keduanya.
Prof Arfin yang juga sebagai Guru Besar Ekonomi Syariah dan Hukum Unhas ini mengulas mengapa umat Islam lambat merespon ekonomi syariah. Khutbah disampaikan di Masjid Al Markaz Al Islami Makassar, pada Jumat (14/4/2024) . Berikut ulasan lengkapnya.
Alhamdulillah pada jumat hari ini kita berada di hari ke 23 Ramadhan 1444 H, Rahmat, Hidayah, Taufik, serta lindungan Allah masih terus dilimpahkan kepada kita semua, sehingga kiat bisa hadir berjamaah di masjid al-Markaz yang sangat mubarakah ini. Semoga suasana indah, nyaman dan berkah ini terus kita rasakan di hari-hari ke depan, amien ya rabbal alamin.
Marilah pula kita semua mengirimkan salam dam shalawat ke junjungan nabi kita Muhammad Saw, innallaha wa malaikatahu yushalluna ala annabi ya ayuha al-lazhina amanu shallu alaihi wasallimu taslima. Allahuma shalli alaihi wasallimu taslima.
Melalui khutbah yang singkat ini perkenankan menyampaikan sedikit tentang dua hal yang penting dipahami dan diposisikan secara tepat yaitu pertama ekonomi syariah dan yang kedua tentang zakat. Kedua hal tersebut perlu pula dicermati hubungan causalitas yang melekat di antara keduanya.
Eksistensi Ekonomi Syariah
Melihat situasi yang berkembang, konsep dan praktek ekonomi syariah sudah berkembang pesat di tanah air, dipahami sebagai sistem atau model ekonomi yang khas disamping sistem ekonomi yang telah ada berkembang luas saat ini. Sistem/model ekonomi yang khas itu tiada lain karena tidak bersumber atau tidak dilahirkan melalui sistem-sistem ekonomi yang sudah ada seperti sistem ekonomi liberalisme, sosialisme, komunisme, mix sistem, dan sistem tradisional. Melainkan sistem ekonomi syariah lahir dan terbentuk secara luar biasa, yaitu diturunkan (anzalnahu)dari langit, merupakan wahyu Allah yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. Di luar dari sistem ekonomi syariah tersebut semuanya lahir dan terbentuk secara sosiologis yang dibuat oleh manusia itu sendiri (bottom up) melalui akal dan peradabannya.
Dengan demikian ekonomi syariah adalah perintah yang menyeluruh bagi umat manusia untuk bekerja, berusaha, berbisnis dan berprofesi guna menjaga dan melanjutkan kehidupannya berdasarkan perintah Allah melalui Alquran dan Assunnah serta ijtihad ulama. Perintah bekerja adalah wajib hukumnya bagi setiap manusia selain untuk kesinambungan hidupnya, juga sebagai konsekuensi penciptaannya sebagai khalifatun fil ardhi dengan tugas utama memakmurkan dunia (wasta’marakum fiha). Secara sederhana dapat dipahami bahwa ekonomi syariah adalah sebuah sistem/model ekonomi yang harus dijalankan oleh umat Islam dalam berusaha, berbisnis dan berprofesi sesuai tuntutan Alquran dan Sunnah, karena itu wajib hukumnya.
Adapun dalil yang menunjukkan keharusan berekonomi syariah itu antara lain, ya ayyuh an-nas kulu’ mimpa fil ardhi halalan tayyiban wahai manusia konsumsilah (bisniskanlah, profesikanlah) apa yang ada di bumi secara halal yang baik. Wabtaghi fima atakallah al-daral akhirah wa la tansa nashibaka min al-dun’ya kerjarlah apa yang dijanjikan Allah pada kehidupan akhirat, tetapi janganlah melupakan nasib kalian di dunia.
Kehidupan dunia tetap diperhatikan sebagai jalan menuju kehidupan sesudahnya, bahkan keberadaan dunia sebagai penentu keselamatan di akhirat karena itu tidak benar jika diabaikan. Dan dalam banyak hal di dunia (fasilitas, harta, tempat, uang, Kesehatan, dll) merupakan faktor penentu keabsahan ibadah dan diterimanya oleh Allah Swt, seperti perlu energi, perlu pakaian halal, makanan halal, tempat tinggal, dll yang harus diadakan sebagai fasilitas ibadah, dan itu semua diperoleh melalui usaha/bisnis yang seharusnya melalui model ekonomi syariah.
Sehingga tampak jelas bahwa berusaha atau berkerja dan berpofesi yang sesuai syariah wajib hukumnya, selain menjadi keharusan yang harus ada dalam proses ibadah, namun juga harus dipastikan keabsahan dan kehalalannya. Hal ini penting karena Allah itu maha suci dan hanya akan mennerima dari hamba-Nya yang suci pula (innallaha tayyibun la yaqbalu illa tayyiban). Dalam kaidah/asas fikih ditegaskan bahwa barang/objek yang diharamkan itu dipastikan hanya akan menghasilkan yang haram pula (ma yuwaddi min haramun fa huwa haramun). Dengan demikian perintah bekerja/berprofesi dalam bentuk, objek, cara, hasil, dan tempat harus terlebih dahulu dipastikan kehalalannya, dan dari sinilah letaknya agar sebuah ibadah dapat diterima oleh Allah Swt, serta tidak ada ibadah yang terlepas dari ekonomi syariah.
Eksistensi Zakat
Zakat secara substansi merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan dari harta/uang/objek merupakan perintah Allah setelah perintah shalat, sekaligus merupakan rukun Islam ketiga, sehingga dapat dipastikan hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi rukun dan syaratnya, yaitu sebegai pemilik penuh (muzakki) terhadap objek/harta/uang yang mencapai jumlah tertentu (nishab) dan jangka waktu setahun (haul) dikeluarkan sesuai kadar yanhg telah ditetapkan. Jadi zakat dari sisi perintahnya wajib universal, namun dalam pelaksanaannya hanya tertuju kepada muslim tertentu yang memenuhi persyaratan.
Da’wah dan informasi serta sosialisasi keharusan berzakat (aqimu al-shalah wa atu al-zakah) dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Ayat yang paling popular, khuz min amwalihin shadaqatan tuthahhiruhum wa tuzakkihin biha … pungutlah zakat dari harta-harta mereka untuk membersihkannya dan mensucikan diri mereka .., dan berbagai hadis Rasulullah saw telah mengatur teknis dan bahkan kini telah ada panduan zakat baik manual maupun digital yang telah divalidasi oleh Kemenag RI.
Perintah yang terkait dengan harta,objek dan uang bukan hanya soal zakat bagi yang berkemampuan, namun bagi muslim yang belum masuk kategori muzakki (kaya), juga ada anjuran yang sangat diharapkan melakukan infaq dan shadaqah kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan dan secara fisik memprihatinkan. Dengan demikian posisi harta/objek/uang begitu penting dalam kehidupan sehingga Ajaran Islam sangat memperhatikan dan telah diatur dengan jelas baik itu untuk zakat, infaq, dan shadaqah. Kini oleh negara telah difasilitasi pengelolaan zakat melalui UU Zakat dan telah di bentuk Lembaga amil zakat mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah yaitu BAZ, LAZ, dan UPZ.
Dakwah dan Akar Masalah
Sebuah problem yang perlu dipahami bahwa dakwah tentang zakat sudah berlangsung begitu optimal dan menyeluruh sehingga permasalahan ZIS sudah hampir terselesaikan dengan baik dan jelas, untuk itu yang diperlukan adalah tumbuhnya kesadaran personal dan institusional untuk berzakat, infaq dan shadaqah.
Problemnya terletak pada cara pandang dan cara memposisikan ZIS tersebut perlu dikritisi, bukankah ZIS itu ending/akhir dari sebuah proses yaitu berkerja, berusaha, dan berprofesi yang hasilnya adalah harta/uang dari sinilah dikenakan ZIS. Jadi ZIS adalah buah dari proses kerja keras untuk menghasilkan harta/uang yang banyak agar kena zakat. Jadi zakat itu bukan dipungut-pungut bergitu saja, zakat bukan barang jatuh dari langit seperti ungkapan zakat, zakat, zakatlah. Masalahnya apa yang akan dizakati jika tidak ada harta/uang, semestinya didakwahkan dulu bagaimana cara bekerja/berbisnis/berprofesi yang benar, sah, dan halalan tayyiban yang hasilnya dikenakan zakat. Ini jarang didakwahkan oleh muballig, yang banyak disampaikan makna zakat, hikmah, pahala zakat, sementara perintah bekerja berbisnis tidak tersampaikan bahkan belum tersentuh sebagai materi dakwah yang urgen di mimbar-mimbar.
Jadi materi dakwah yang berjalan seakan-akan terpotong bagaikan naik tangga dari step 1 langsung ke step 3, melompati step 2, sehingga hasilnya kurang optimal, dan ini kurang tepat karena terkadang berzakat itu tidak lagi dikaitkan dengan proses mendapatkan harta atau uang, yang penting berzakat ada materi zakatnya. Nah, disinilah letak pentingnya ekonomi syariah yang diperintahkan oleh Alquran dan Assunnah agar bekerja dan berbisnis secara halalan tayyiban, yang ujung-ujungnya wajib dizakati manakala sampai nishab dan haul-nya.
Menekankan dakwah pada zakat sudah sangat tepat adanya, selain perintah syariah (Alquran dan Assunnah), juga merupakan rukun Islam ketiga yang wajib ditunaikan bagi muslim, namun sebagai materi dakwah semestinya sebelum sampai ke zakat idealnya terlebih dahulu menjelaskan kewajiban bekerja, berbisnis, dan berprofesi yang sesuai syariah atau ajaran Islam, inilah yang disebut ekonomi syariah atau ekonomi Islam, dalam kitab fikih disebuh fikih muamalah (iqtishady).
Sebagai konsekuensi kurangnya dakwah dan pendakwah yang menguasai dan menyampaikan kewajiban bekerja/berbisnis pilihan objek/komoditias, setrategi, potensi, peluang, marketing, bagi hasil, dan komopetisinya yang manjadi objek pembahasan dalam ekonomi syariah sangat jarang disampaikan di mimbar, realitasnya lansung ke zakat urgensi pahala dan hikmahnya. Dengan demikian dakwah tidak berbasis akar masalah langsung ending/hasilnya, atau zakat itu sendiri, sementara akar masalahnya adalah keharusan bekerja keras agar dapat harta/uang yang banyak nangtinya kena zakat.
Dengan demikian diharapkan agar para muballig juga pro aktif dalam mendakwahkan wajibnya bekerja sesuai syariah atau berekonomi syariah dari sini muncullah sosok-sosok muzaki yang diwajibkan berzakat, bukan kelebihan zakat saja yang terus didakwahkan. Sungguh kurang elok jika mengajak umat berzakat, nyatanya tidak mampu berzakat.
Penulis belum melakukan riset/survey kemungkinan inilah salah satu penyebabnya mengapa umat Islam Indonesia lambat merespons ekonomi syariah, perbankan syariah sudah berjalan 34 tahun hanya meraih 7 persen dari keseluruhan asset perbankan nasional, sungguh sangat miris bukan. Bahkan lebih sensitif lagi mungkin ada beranggapan Islam tidak terlalu mementingkan bekerja/berbisnis karena tidak ada dalam rukun Islam. Barakallahu li walakum.
*Irfan Suba Raya*