■ Oleh: Dr KH Muammar Bakry Lc MA, Sekretaris Umum MUI Sulsel
Sekelumit mutiara Rasulullah dalam berbangsa dan bernegara. Awal tahun 620 M Nabi Muhammad shalallahu alaihi washallam bertemu dengan enam orang Yastrib dari Kabilah Khazraj yang berziarah ke Makkah. Ajakan nabi kepada mereka untuk memeluk Islam disambut baik, bahkan disahkan dalam satu Perjanjian Aqabah. Isi perjanjiannya: “Tidak akan mempersekutukan Allah SWT. Tidak akan mencuri, berzina, dan membunuh anak-anak. Tidak akan saling memfitnah dan tidak akan mendurhakai Nabi Muhammad SAW.”
Selanjutnya, pada tahun 622 M, orang-orang Yatsrib datang lagi dengan maksud mengadakan perjanjian Aqabah 2 sekaligus mengundang Nabi Muhammad SAW untuk berhijrah ke Yatsrib. Perjanjian Aqabah 2, diikuti 75 orang Yastrib dan Nabi Muhammad SAW sendiri didampingi pamannya, Sayyidina Hamzah.
Dua perjanjian tersebut menginspirasi Nabi Muhammad SAW untuk berdakwah ke Yatsrib. Lalu beliau perintahkan kepada para sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib secara sembunyi-sembunyi. Sementara Nabi sendiri dan beberapa sahabat lainnya masih tinggal di Makkah seperti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan lainnya, sambil menunggu turunnya ayat untuk berhijrah.
Senin, 22 September 622 M menjadi hari yang bersejarah bagi dakwah islamiyah. Rasulullah tiba di Yastrib setelah menempuh perjalanan berpuluh hari dari Makkah. Masyarakat Yastrib menyambut Rasulullah dengan penuh suka cita. Yastrib yang dihuni masyarakat dengan aneka suku, etnis, bahkan agama, kerap kali menjadi pemicu peperangan antar mereka. Maka kedatangan Rasulullah di Yastrib bagai “Juru Selamat” pemersatu di antara mereka.
☆☆☆
Sejarah membuktikan, ternyata Rasulullah berhasil membangun Yastrib sebagai kota peradaban yang aman, tenteram, toleran, adil dan makmur. Inilah kemudian Yastrib berubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah.
Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Ibrahim alaihissalam memproklamirkan Makkah sebagai kota suci dan mendoakan bagi penduduknya, Sayapun memproklamirkan Madinah sebagai kota suci, sebagaimana Ibrahim mengharamkan Makkah, memuliakan kota Makkah, sayapun mendoakan sejengkal dari sudut-sudut kota Madinah dua kali lipat seperti apa yang dilalukan Nabi Ibrahim.”(Muttafaqun alaih).
Dengan demiakian kota Madinah menjadi bercahaya. Ada dua perubahan paling penting yang terjadi di Kota Madinah.
Pertama, Nilai-nilai keagaamaan yang dibina dan dihidupkan di tengah masyarakat
Kedua, Ada nilai-nilai peradaban, kota yang aman dan tentram adil dan makmur
Setidaknya ada tiga hal yang mendasar dilakukan Rasulullah SAW
Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat semua kegiatan (center of activities). Masjid sebagai tempat pertemuan dan pembinaan umat.
Kedua, membangun persaudaraan antar sesama muslim (ukhuwah islamiyah). Solidaritas, soliditas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam berhasil ditanamkan bagi pribadi muslim, bahwa persaudaraan bukan saja didasarkan pada nasab, tapi juga aqidah islamiyah.
Ketiga, membangun persaudaraan antar umat (ukhuwan wathaniyah).
Untuk dapat memahami kondisi dan situasi sosial di Madinah, Nabi Muhammad SAW kemudian melakukan sensus penduduk Madinah. Hasil dari sensus tersebut ditemukan bahwa dari 10.000 penduduk Madinah, penduduk muslim hanya 1.500 jiwa, sementara orang yahudi ada 4.000 jiwa dan 4.500 jiwa lainnya masih menganut paganisme (musyrikin).
Setelah melakukan sensus Nabi Muhammad SAW kemudian mempertemukan tiga entitas masyarakat Madinah, yakni: Muslim, Yahudi, dan musyrikin. Kaum Muslim terdiri dari kaum Muhajrin dan kaum Anshar. Kaum Muhajirin terdiri dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Sementara Kaum Anshar terdiri dari Banin Aus dan Banin Khazraj. Kemudian Kaum Yahudi terdiri dari Bani Qayunuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Berdasarkan kondisi ini maka masyarakat Madinah pada saat itu adalah komunitas yang pluralistik.
Di sinilah sisi kecerdasan Nabi Muhammmad SAW dalam menghadirkan konsep berbangsa dan bernegara untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Piagam Madinah
Visi besar ini kemudian mendorong Nabi Muhammad untuk menyusun sebuah dokumen yang disebut Mitsaq al-Madinah, Piagam Madinah (Constitution of Medina) Piagam ini menjadi titik temu (kalimatun sawa’), untuk menjadi dasar hukum bagi kehidupan bermasyarakat di Madinah.
Piagam Madinah disusun bukan hanya dari pemikiran Nabi Muhammad saja, tetapi meliputi gagasan-gagasan dari semua tokoh stakeholder dalam masyarakat Madinah. Piagam Madinah disusun berdasarkan konsensus bersama seluruh komponen masyarakat. Ahli hukum Islam Inggris berdarah India Muhammad Hamidullah, menyebut Piagam Madinah sebagai konstitusi demokratis modern pertama di dunia.
Potongan dari Piagam Madinah yang prestesius:
هذا كتاب من محمد النبي صلىی الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب ومن تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم انهم امة واحدة من دون الناس.
Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka
Hal yang menarik dari petikan Piagam Madinah yang sangat prestesius iti adalah menyebutkan “Ummah Wahidah” yang bisa bermakna Bangsa ataupun Negara. Menggabungkan diri dalam satu komitmen dan kesepakatan lalu diikat dengan perjuangan bersama, tanpa melihat latar belakang agama dan suku. Dapat dipastikan bahwa Piagam Madinah yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad mengandung di dalamnya nilai-nilai demokrasi yang Islami yakni persamaan, kebebasan, hak asasi manusia, musyawarah dan toleransi.
Apa yang dilakukan oleh founding father kita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara adalah ijtihad yang sangat tepat sebagai analogi dari Piagam Madinah yang dibentuk oleh Rasulullah saw. Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai musyawarah dan nilai keadilan adalah semangat dari Piagam Madinah yang sangat monumental.
Walhasil, mari kita renungkan pesan Nabi dalam memimpin suatu bangsa dan negara;
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ :« يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا ». (رواه مسلم
Dari Abi Zar, saya berkata kepada Rasulullah, Apakah Baginda bisa memanfaatkan saya pada satu jabatan? Rasulullah menepuk pundakku dan berkata, “Wahai Abu Zar engkau lemah dan jabatan itu adalah amanah, pada hari kiamat adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang menjalankannya dengan baik dan benar”.
وقال النبي صلى الله عليه وسلم لمن سأله عن الساعة: « فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » رواه البخاري ،
Nabi saw ketika ditanya tentang hari Kiamat, “Apabila amanah tidak dijalankan maka tunggulah kiamat”
(قَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ».أخرجه الترمذي وأبو داود
Nabi Muhammad saw bersabda “Jalankanlah amanah kepada orang yang memberi amanah, dan janganlah menghinati orang yang menghianatimu”.■
*) Dari materi khutbah yang disampaikan di Masjid Istiqlal Jakarta, Jumat (5/11/2021).