PENYAKIT PBP: Merusak Harmoni dan Disrupsi Sosial

Munawir Kamaluddin

Dalam setiap lapisan kehidupan manusia, ada prinsip-prinsip mendalam yang mengatur keharmonisan dan keseimbangan antar sesama.

Sejak zaman dahulu, setiap budaya memiliki pandangan tersendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang bagaimana kita harus saling memperlakukan satu sama lain. Begitu pula dengan budaya Bugis-Makassar, yang dipenuhi dengan nilai-nilai luhur yang menuntun umat manusia untuk hidup dalam kebersamaan, saling menghargai, dan menjaga kehormatan diri.

Salah satu unsur penting dalam budaya ini adalah siri’ na pacce, yang menjadi fondasi bagi integritas dan kehormatan sosial.

Namun, dalam perjalanan waktu, beberapa sifat buruk seperti Pabbelleng (pembohong ),Bali’bella’ (munafik), dan Pettu Perru (tidak berbelas kasih)
menjadi ancaman nyata bagi keharmonisan itu sendiri.

Sifat-sifat ini, yang pada dasarnya menggerogoti kepercayaan dan rasa peduli antar sesama, telah merasuk dalam kehidupan modern yang serba cepat dan pragmatis.

Dalam dunia yang penuh dengan kepentingan pribadi, ketidakjujuran sering kali dianggap sebagai jalan pintas menuju tujuan tertentu, sementara ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain seolah menjadi hal yang biasa. Namun, apakah kita benar-benar ingin melanjutkan kehidupan yang tergerus oleh sifat-sifat ini?

Mari kita renungkan sejenak: apakah kejujuran tidak lagi menjadi sebuah kebajikan? Apakah konsistensi dalam ucapan dan perbuatan tidak lagi dihargai? Dan apakah rasa peduli terhadap sesama telah tergerus oleh egoisme dan individualisme yang semakin mendalam?

Melalui pembahasan ini, kita akan menyelami ketiga sifat buruk tersebut dalam perspektif yang lebih dalam, menghubungkannya dengan ajaran agama Islam yang penuh dengan nilai kejujuran, konsistensi, dan kasih sayang. Kita juga akan menggali kembali makna luhur yang terkandung dalam budaya Bugis-Makassar yang mengajarkan kita untuk menjaga kehormatan dan merawat solidaritas dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan merangkai semua ini dalam sebuah pemahaman yang holistik, kita diundang untuk merenung lebih jauh: apakah kita akan terus membiarkan sifat-sifat buruk ini merusak tatanan sosial kita, ataukah kita akan berjuang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang sudah ada sejak lama?

Pembahasan ini tidak hanya akan menggugah kesadaran kita, tetapi juga akan membawa kita pada sebuah perjalanan moral untuk merenungi, memperbaiki, dan memperkuat integritas kita sebagai individu dan sebagai bagian dari sebuah masyarakat yang penuh dengan kasih sayang dan kepedulian.

Sebab, di dunia yang penuh gejolak ini, hanya dengan menjaga nilai-nilai kebaikan, kita dapat hidup dalam kedamaian dan keharmonisan yang sesungguhnya.

Pabbelleng, Bali’bella’, dan Pettu Perru dalam Perspektif Agama dan Budaya Keindonesiaan (Bugis-Makassar)

Tiga sifat buruk dalam budaya Bugis-Makassar yang disebutkan dalam kajian ini, yaitu Pabbelleng (Pembohong/Tukang Bohong), Bali’bella’ (Munafik/Tidak Konsisten), dan Pettu Perru (Tidak Berbelas Kasih/Tidak Sensitif), mencerminkan perilaku yang merusak tatanan sosial dan spiritual, baik dalam dimensi budaya lokal maupun ajaran agama.

Ketiga sifat ini bukan hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dalam budaya Bugis-Makassar, tetapi juga dengan ajaran Islam yang mengajarkan nilai-nilai integritas, kejujuran, kasih sayang, dan kepekaan terhadap penderitaan sesama.

1. Pabbelleng (Pembohong/Tukang Bohong) dalam Perspektif Agama dan Budaya Bugis-Makassar

Makna dalam Budaya Bugis-Makassar: Pabbelleng, dalam pengertian yang lebih tepat, bukan hanya bermakna sombong, tetapi merujuk pada sifat pembohong, tukang bohong, atau orang yang suka menipu dan mengelabui orang lain.

Sifat ini adalah manifestasi dari ketidakjujuran yang berbahaya dalam masyarakat, karena menumbuhkan ketidakpercayaan, konflik, dan kerusakan dalam hubungan sosial.

Manifestasi Kekinian:

Sosial: Seseorang yang suka berbohong untuk kepentingan pribadi atau menghindari tanggung jawab.

Politik: Pemimpin yang mengumbar janji palsu dan menipu rakyat demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Keagamaan: Seseorang yang melakukan riya atau berpura-pura beribadah hanya untuk dilihat orang lain.

Didalam Al-Qur’an Allah SWT. telah menegaskan dalam firman-Nya:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّـهِ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ
(“Sesungguhnya yang membuat kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan merekalah orang-orang yang berdusta.”)
(QS. An-Nahl: 105)

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa kebohongan hanya dilakukan oleh orang yang tidak beriman. Kebohongan merusak hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Pabbelleng, sebagai tukang bohong, jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kejujuran.

Sekian halnya Rasulullah SAW. didalam Hadisnya telah bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَىٰ الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَىٰ النَّارِ
(“Hati-hatilah kalian dengan kebohongan, karena kebohongan itu membawa kepada kefasikan, dan kefasikan itu membawa kepada neraka.”)
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan betapa bahayanya kebohongan. Kebohongan yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya merusak hubungan sosial tetapi juga dapat membimbingnya ke dalam dosa yang besar, yaitu masuk neraka. Dalam konteks Pabbelleng, sifat ini adalah bentuk kefasikan yang membawa kehancuran.

Sejakan dengan itu khalifah Ali bin Abu Thalib RA. dalam Qaulnya berkata “Sesungguhnya kebohongan adalah sifat orang munafik. Orang yang beriman harus menjaga lisannya.” (Ali bin Abi Talib)

Khalifah Ali bin Abi Talib RA. mengajarkan bahwa orang yang berbohong menunjukkan tanda-tanda kemunafikan. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kejujuran dalam berbicara, karena kebohongan merusak hubungan, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia.

Solusi Dalam Mengatasi sifat Panbelleng

Untuk mengatasi Pabbelleng, masyarakat harus mengedepankan nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan agama dan budaya yang menekankan integritas, seseorang dapat belajar untuk tidak berbohong demi kepentingan pribadi atau mengelabui orang lain.

2. Bali’bella’ (Munafik/Tidak Konsisten) dalam Perspektif Agama dan Budaya Bugis-Makassar

Makna dalam Budaya Bugis-Makassar: Bali’bella’ adalah sifat plinplan, tidak konsisten, dan hipokrit. Orang yang bersikap seperti ini tidak bisa dipercaya karena tindakannya sering kali tidak sesuai dengan kata-katanya. Bali’bella’ juga menggambarkan ketidakmampuan seseorang untuk menjaga komitmen atau janji yang telah diucapkan.

Manifestasi Kekinian:

Politik: Pemimpin yang mengingkari janji atau tidak bertanggung jawab terhadap janjinya kepada rakyat.

Sosial: Orang yang sering berjanji tetapi tidak menepatinya, sehingga merusak kepercayaan orang lain.

Keagamaan: Seseorang yang terlihat religius di luar, tetapi tidak konsisten dalam perbuatan dan ibadah.

Allah SWT dalam sejumlah firman-Nya yang bertebaran didalam Al-Qur’an telah memberikan tuntunan diantaranya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
(“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”)
(QS. As-Saff: 2)

Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sesuai dengan perbuatan kita. Bali’bella’ adalah pengingkaran antara ucapan dan tindakan yang akan merusak hubungan sosial dan integritas diri.

Sejalan dengan hal ini , maka Rasulullah SAW. Telah menekankan dan memperingatkan dalam Hadisnya :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا أُؤْتُمِنَ خَانَ
(“Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, dia berdusta; apabila berjanji, dia mengingkari; dan apabila dipercaya, dia berkhianat.”)
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan ciri-ciri orang yang tidak konsisten dan berbohong. Orang yang tidak bisa menepati janji atau yang tidak amanah adalah tanda-tanda Bali’bella’ yang merusak hubungan dan kepercayaan.

Sejalan dengan hal tersebut pula khalifah ke-4 Ali Bin Abi Thalib RA. menyampaikan bahwa :”Orang yang beriman adalah orang yang konsisten dalam setiap ucapan dan perbuatannya.” (Ali bin Abi Talib)

Pernyataan Ali bin Abi Talib ini mengajarkan bahwa konsistensi adalah tanda integritas. Bali’bella’, yang merupakan ketidakmampuan untuk konsisten antara kata dan perbuatan, harus dihindari agar kita tetap menjaga kepercayaan dan integritas.

Solusi dalam menanggulangi sifat Bali Bella:

Untuk mengatasi Bali’bella’, penting untuk selalu berbicara sesuai dengan tindakan kita dan menjaga konsistensi dalam memenuhi janji dan tanggung jawab. Pendidikan moral dan agama yang menekankan pentingnya integritas dapat membantu individu untuk tetap konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pettu Perru (Tidak Berbelas Kasih/Tidak Sensitif) dalam Perspektif Agama dan Budaya Bugis-Makassar

Makna dalam Budaya Bugis-Makassar: Pettu Perru menggambarkan ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain, baik dalam bentuk ketidakpekaan sosial maupun pengabaian terhadap kebutuhan sesama.

Sifat ini sangat bertentangan dengan nilai pacce (kepekaan terhadap penderitaan orang lain) yang menjadi bagian integral dari budaya Bugis-Makassar.

Manifestasi Kekinian:

Individualisme:
Ketidakpedulian terhadap orang lain yang sedang menderita.

Eksploitasi Sosial:
Pengabaian terhadap hak-hak pekerja atau orang yang lebih lemah.

Kurangnya Solidaritas: Ketidakpedulian terhadap korban bencana atau kesulitan.

Terkait dengan konsisi seperti ini maka alquran memberi arahan dan tuntunan , diantaranya :
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ * وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
(“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”)
(QS. Ad-Dhuha: 9-10)

Al-Qur’an mengajarkan untuk tidak berlaku kasar atau mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan, baik itu anak yatim atau orang yang sedang kesulitan. Pettu Perru adalah ketidakpedulian terhadap mereka yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian.

Senada dengan peringatan Allah SWT. didalam al-Qur’an, Rasulullah SAW. juga dalam Haditsnya telah menyatakan:
Hadis Nabi :
مَن لا يَرْحَمُ النَّاسَ لا يَرْحَمُهُ اللَّهُ
(“Barang siapa yang tidak memiliki belas kasih terhadap sesama manusia, maka Allah tidak akan memberikan belas kasih kepadanya.”)
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan betapa pentingnya sikap belas kasih dalam Islam. Pettu Perru, atau ketidakpedulian terhadap orang lain, sangat bertentangan dengan prinsip belas kasih yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Mereka yang tidak berbelas kasih terhadap sesama akan kehilangan rahmat dari Allah. Dalam konteks ini, Pettu Perru bukan hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menghambat keberkahan dan rahmat Allah dalam hidup seseorang.

Seiring dengan penyampaian Nabi Muhammad SAW. Dalam sabda-sabda menyatakan “Barang siapa yang ingin mendapatkan kasih sayang Allah, hendaknya dia memberi kasih sayang kepada makhluk-Nya.” (Umar bin Khattab)

Khalifah ke-2 Amiral Mukminin Umar bin Khattab RA. mengajarkan bahwa kasih sayang kepada sesama manusia adalah kunci untuk mendapatkan kasih sayang dari Allah. Pettu Perru, yang mencerminkan ketidakpedulian dan kekurangan dalam memberi kasih sayang, harus dihindari karena dapat menghalangi seseorang dari merasakan kasih sayang Allah. Sifat ini juga merusak tatanan sosial dan memperlemah rasa solidaritas dalam masyarakat.

Solisi untuk Mengatasi Pettu Perru (Tidak Berbelas Kasih):

Untuk mengatasi Pettu Perru, kita harus menumbuhkan rasa empati dan kepekaan terhadap penderitaan orang lain.

Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat pendidikan moral dan agama yang mengajarkan pentingnya kasih sayang, baik kepada keluarga, tetangga, maupun orang yang membutuhkan. Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan aktif dalam kegiatan sosial, berbagi dengan yang membutuhkan, dan memberikan perhatian kepada orang yang sedang mengalami kesulitan.

Penyatuan Nilai Agama dan Budaya Bugis-Makassar

Dalam perspektif budaya Bugis-Makassar, Pabbelleng, Bali’bella’, dan Pettu Perru adalah sifat-sifat yang sangat merusak keharmonisan dalam masyarakat. Namun, masyarakat Bugis-Makassar juga memiliki nilai-nilai budaya yang kuat seperti Sipakainga, Sipakatau, dan Sipaka Lebbi yang menekankan pentingnya saling menghargai, saling membantu, dan memiliki kepedulian terhadap sesama.

Sipakainga (saling menjaga)
mengajarkan kita untuk menjaga hubungan yang baik dengan sesama, menjunjung tinggi kejujuran, dan tidak menipu atau berbohong.

Sipakatau (saling menghormati) mengajarkan untuk menghormati komitmen, kata-kata, dan janji yang telah dibuat. Ini adalah solusi untuk mengatasi sifat Bali’bella’ (ketidak-konsistenan).

Sipaka Lebbi (saling memberi) mengajarkan tentang pentingnya berbagi dan berbelas kasih terhadap sesama, yang merupakan solusi untuk mengatasi Pettu Perru (ketidakpedulian atau kurangnya belas kasih).

Sehingga dengan demikian maka Ketiga sifat buruk tersebut, yaitu Pabbelleng, Bali’bella’, dan Pettu Perru, tidak hanya merusak hubungan sosial dalam masyarakat Bugis-Makassar, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan pentingnya kejujuran, konsistensi, dan kasih sayang.

Untuk mengatasi ketiga sifat buruk ini, kita harus melakukan upaya pendidikan yang berkelanjutan untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, konsistensi, dan kepedulian terhadap sesama, baik melalui ajaran agama maupun pembentukan karakter dalam masyarakat.

1. Untuk mengatasi Pabbelleng: Masyarakat harus diajarkan untuk menghindari kebohongan, dengan menekankan bahwa kejujuran adalah salah satu ciri orang beriman. Pendidikan agama dan etika harus ditanamkan agar generasi muda tidak terjebak dalam kebohongan.

2. Untuk mengatasi Bali’bella’: Konsistensi dalam ucapan dan perbuatan adalah kunci. Pendidikan moral dan agama harus menekankan pentingnya memenuhi janji dan menjaga amanah. Orang yang tidak konsisten harus diajarkan untuk memperbaiki perilakunya agar bisa dipercaya oleh masyarakat.

3. Untuk mengatasi Pettu Perru: Kepekaan terhadap penderitaan orang lain harus ditumbuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan kasih sayang, kepedulian sosial, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial. Masyarakat yang peduli akan membantu mereka yang membutuhkan dan memberi perhatian kepada orang yang sedang kesulitan.

Dengan mengimplementasikan nilai-nilai agama dan budaya Bugis-Makassar yang mengutamakan kejujuran, konsistensi, dan kasih sayang, masyarakat dapat menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan penuh kasih sayang.

PENUTUP/KESIMPULAN

Sebagai penutup dari perjalanan panjang ini, kita telah diajak untuk menyelami kedalaman makna dan implikasi dari tiga sifat buruk yang menggerogoti tatanan sosial kita: Pabbelleng (pembohong), Bali’bella’ (munafik), dan Pettu Perru (tidak berbelas kasih).

Sifat-sifat ini, meskipun tampaknya menjadi bagian dari kenyataan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya bukanlah jalan yang seharusnya kita pilih. Mereka adalah serpihan dari kehancuran nilai-nilai luhur yang telah diwariskan kepada kita oleh para leluhur dan ajaran agama kita.

Namun, kita tidak harus terperangkap dalam ketidakberdayaan. Justru, pembahasan ini memberi kita sebuah kesempatan emas untuk menghidupkan kembali prinsip-prinsip yang telah lama terlupakan, namun masih sangat relevan di tengah gempuran dunia yang serba cepat dan pragmatis.

Kejujuran, konsistensi, dan empati bukan hanya nilai-nilai yang seharusnya kita jaga, tetapi juga sebuah kewajiban untuk memperbaiki hubungan kita dengan sesama dan dengan Tuhan.

Dalam konteks Pabbelleng, kita diajak untuk kembali meneguhkan integritas kita. Kebohongan, sekecil apapun itu, merusak fondasi kepercayaan yang telah dibangun dengan susah payah.

Jika kita ingin hidup dalam kedamaian, marilah kita berkomitmen untuk menjadi pribadi yang benar-benar jujur, yang tidak hanya berbicara dengan mulut, tetapi juga dengan hati dan perbuatan. Tanggung jawab moral kita sebagai umat manusia adalah menjaga kebenaran, agar dunia ini tetap berjalan dalam harmoni yang tulus.

Sedangkan dalam Bali’bella’, kita dipanggil untuk hidup dengan konsistensi, menjaga keselarasan antara ucapan dan tindakan.

Dunia membutuhkan orang-orang yang dapat dipercaya, yang perkataannya sesuai dengan perbuatannya. Hanya dengan itu, kita dapat membangun hubungan yang kokoh, baik di level pribadi maupun sosial.

Ketidakpastian dan ketidakkonsistenan hanya akan membawa kebingungan, bukan hanya kepada diri kita sendiri, tetapi juga kepada orang lain yang bergantung pada kata-kata kita.

Dan terakhir, Pettu Perru mengingatkan kita untuk tidak kehilangan rasa peduli terhadap sesama. Dunia ini begitu luas, namun terkadang kita terperangkap dalam dunia kita sendiri yang sempit.

Dengan melupakan rasa empati, kita bukan hanya menyakiti orang lain, tetapi juga merusak kemanusiaan kita sendiri.

Marilah kita membuka hati untuk merasakan penderitaan mereka yang membutuhkan bantuan kita, baik dalam bentuk material, perhatian, maupun doa.

Sebagai manusia, kita diberikan kemampuan untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh. Namun, pilihan itu tidak hanya mempengaruhi diri kita sendiri, tetapi juga mereka yang ada di sekitar kita.

Apakah kita ingin menjadi bagian dari solusi yang menghidupkan kebaikan, ataukah kita akan terus menjadi bagian dari masalah yang menggerogoti nilai-nilai luhur yang telah diwariskan?

Untuk itu, mari kita kembali kepada prinsip-prinsip dasar yang telah diajarkan dalam ajaran agama kita dan budaya kita.

Dengan kejujuran, konsistensi, dan empati, kita dapat membangun dunia yang lebih baik, dunia yang penuh dengan rasa saling percaya, saling menghormati, dan saling mencintai. Bukankah itu yang kita harapkan dalam hidup ini?

Semoga dengan memahami dan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur ini, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih adil, lebih peduli, dan lebih damai. Sebab, dunia ini bukan milik satu individu saja, tetapi milik kita semua. Kita adalah bagian dari sebuah jaringan yang saling mendukung, dan hanya dengan menjaga satu sama lain, kita dapat menciptakan harmoni yang sejati.# Wallahu A’lam Bishawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.