TANYA, muisulsel.com — Saya ingin menanyakan perihal berhubungan suami istri dengan sengaja di bulan Ramadhan, apa yang harus saya lakukan untuk menebusnya sebelum masuk Ramadhan tahun ini. Kebetulan kami melakukannya lebih dari sekali. Mohon dibantu arahan dari para ulama.
— Dari NN di Makassar
JAWAB : Hubungan intim yang telah legal asalnya halal bahkan bisa bernilai pahala. Namun ketika puasa, bersetubuh atau bersenggama (hubungan intim suami istri) menjadi terlarang bahkan menjadikan puasa seorang muslim batal.
Karena kehormatan bulan Ramadhan, pelanggaran tadi dihukumi dengan hukuman yang berat dalam kafaroh.
Oleh karena itu bagi yang melakukannya (bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan) hendaklah keduanya bertaubat kepada Allah SWT dan berazam untuk tidak mengulanginya lagi.
Selanjutnya wajib baginya mengganti puasa yang dibatalkan dan membayar kafaroh seperti yang disebutkan dalam hadits:
(1) Membebaskan satu orang budak,
(2) Jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan berturut-turut,
(3) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istriku, padahal aku sedang puasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam.
Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Lalu bagaimana jika hal tersebut terjadi beberapa hari dalam bulan suci Ramadhan?
Ada dua pandangan;
- Mazhab Jumhur (Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah), wajib baginya mengganti setiap hari yang dibatalkan karena Jima’ dan membayar kafarat untuk setiap hari yang dibatalkan secara terpisah.
- Mazhab Hanafiyah dan sebagian Hanabilah mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan Jima’ di siang hari di Bulan Ramadhan dan belum membayar kafarah-nya lalu dia melakukannya lagi di hari yang lain, maka baginya satu kafarah.
Selanjutnya adalah siapakah yang harus membayar kafarat apakah suami atau istri?
- Imam Syafi’i dan Zahiry mengatakan, kewajiban membayar kafarat cuma dibebankan kepada laki-laki saja bukan pada istrinya kendati melakukan hubungan itu berdua. Namun tetap pelakunya jatuh kepada laki-laki yang menentukan terjadi tidaknya hubungan seksual.
- Sedangkan, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat jika kewajiban membayar kafarat itu berlaku bagi suami dan istri. Adapun dalil yang mereka gunakan ialah qiyas, bahwa mengqiyaskan kewajiban suami kepada kewajiban istri pula.
- Akan tetapi pendapat Syafi’i adalah pendapat yang lebih kuat dan jumhur ulama memilihnya. Sedangkan pendapat lain terlontar dari Imam Hanafi, Syafi’i dan Imam Ahmad yaitu bagi seorang wanita yang dipaksa, lupa atau tidak tahu tentang larangan berhubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadan tidak ada kafarat baginya. Hal tersebut juga berlaku bagi laki-laki.
Wallahu A’lam.■
*) Dijawab oleh Komisi Fatwa MUI Sulsel