Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar, muisulsel.or.id – Memahami fiqih puasa adalah memahami sejumlah taklif yaitu perintah atau larangan Allah Swt bagi seorang hamba di bulan Ramadan,hal ini berbeda dengan memahami hak-hak seorang hamba dihadapan Allah Swt bagi yang beramal dan bagi yang menghambakan diri secara benar dan terukur, seperti apakah status penghambaan di bulan puasa Ramadan dihadapan Allah Swt?, terutama status imannya, apakah status tersebut bertambah atau malah tergerus habis oleh hal-hal yang mensirnakkannya atau meruntuhkannya?
Bulan Ramadan ini juga berfungsi memperjelas status keimanan seseorang dan merekonstruksi kembali level-level iman sebelum Ramadan datang, seperti apa bentuknya?
Status bagi seorang yang beriman saat ini sangat dipahami, bila sekedar mengerti apa itu status, namun status iman adalah hal yang sangat penting dimengerti dan sangat penting dibenahi di bulan puasa Ramadan ini, mengapa demikian? karena Allah Swt menginginkan setiap hambanya membenahi status iman seseorang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan, dengan ungkapan “laallakum tasykuruun” (agar kalian menjadi orang yang bersyukur), inilah yang luar biasa di bulan suci Ramadan melebihi sekedar menjalankan fiqhi puasa, artinya seseorang itu harus memahami fiqih ubudiah yaitu fiqhi penghambaan di depan Allah Swt.
Status keimanan menurut sebagian besar ulama terpolakan pada Islam, iman dan ihsan dalam segala konsekwensinya pandangan ini dianut oleh Syekh bin Baz dan murid-muridnya, sementara para ahli akidah Islam memahami iman itu dari sisi pertambahan dan kekurangan.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang status iman seseorang Muslim, beliau menjawab bisa membumbung tinggi sampai batas awan dan bisa tergerus sampai sirna sama sekali.
Ada berapa status iman menurut al-Alkaniy Hasan Abdul Gaffar sebagai berikut:
1. Iman yang sudah ada dan berstatus biasa, yaitu seseorang sudah tidak mungkin kekal di neraka, yaitu muslim yang banyak lalai dan khilaf nauzubillahi min zalik.
2. Iman yang sudah taat yaitu menjauhi larangan Allah Swt dan mengikuti perintah Allah, maka pada status ini seseorang sudah dapat jalani hari perhitungan, dengan plus keberuntungan dan tidak sedikit ganjaran dosa yang dialami.
3. Status iman yang tinggi,yaitu manusia yang oleh imannya dia digiring menuju surga, ia mendahului yang lainnnya, dan ia mendapat prioritas di hadapan seluruh makhluk, inilah tingkat tinggi menurut al-Alkaniy, karena sudah sesuai dengan harapan Allah Swt, yaitu menjadi orang yang lolos dari tantangan dan rintangan iman.
Pada level yang lain, masih ada orang-orang yang berlevel lebih tinggi, yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an; al-muflihun, yaitu orang beruntung, al-qaashituun yaitu orang yang telah jujur keimanannya, asy-syaakiruun orang bersyukur, al-muhtaduun orang yang mendapat petunjuk, dan golongan tertinggi adalah al-mun’amuun yaitu orang yang diberi nikmat bersama para nabi dan rasul.
Kondisi keimanan di atas rata-rata dilahirkan oleh madrasah Ramadan, Allah beri ruang seluruh hamba berfiqih taabbudi yaitu fiqih berkehambaan.
Bila seseorang telah tempa diri dengan amal dan mujahadah dalam bulan puasa Ramadan, niscaya dirinya tergolong orang-orang yang sejati dalam beriman. Ini juga diisyaratkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an dengan kata “innamal mu’minuuna” atau hanyalah orang tertentu dapat berada pada hakekat iman itu. Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 2; yaitu berciri getar hati bila disebut nama Allah Swt dan kebesaranNya di alam ini , dan apabila melihat dan mendengar ayat-ayat qauliyah dan kauniyah semakin menjulang keimanan dengan penuh rasa tawakkal.
Menjalankan Ramadan dengan ikhlas dan tulus penuh harapan diantar oleh mujahadah perjuangan pasti membuahkan hasil keimanan yang hakiki ,yaitu merasakan betapa nikmatnya jadi hamba Allah Swt yang menjalankan sunnatullah di alam raya, dan merasakan nikmat menjadi hamba Allah Swt yang bersyukur.
Inilah nilai-nilai yang dirasakan para nabi-nabi terdahulu dan dirasakan oleh mereka yang sangat lugas mengucapkan rasa syukur itu, mereka adalah Nabi Sulaiman As dan Nabi Muhammad Saw., yaitu kata: afalaa akuuna ‘abdan syakuuran yaitu;” kenapa saya tidak senantiasa jadi hamba yang bersyukur?” apa yang menghalangi? Hal ini tertuang secara audio visual dalam surat al-Naml, ayat 19.
Inilah halawatul iman atau manisnya iman di bulan Ramadan khususnya sepuluh malam terakhir, Ramadan semakin kareem..kareem.. kareem, perkataan yang semakin lemah dari hati seorang yang beriman untuk mengungkap kemuliaan Ramadan ini, Allahul mustaan ala maa nasifuhu kullahu. Wallahu A”lam.
Irfan Suba Raya