Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar, muisulsel.or.id – Puasa enam hari di bulan Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadan.
Dalam perhitungan pahala, satu bulan puasa Ramadan dinilai seperti sepuluh bulan, dan enam hari puasa Syawal dihitung setara dengan dua bulan.
Dengan demikian, seseorang yang berpuasa Ramadan penuh lalu melanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawal akan mendapatkan pahala seperti berpuasa selama satu tahun penuh.
Hal ini berdasarkan hadis Tsauban ra:
وروى ثوبان: «صيام شهر بعشرة أشهر، وصيام ستة أيام بشهرين، فذلك سنة» (3)
“Puasa Ramadan sebulan itu bernilai 10 bulan, dan puasa enam hari itu bernilai dua bulan maka itu terhitung setahun (HR Said bin Mansur).
Cara Menyempurnakan Pahala Puasa Setahun
Ada beberapa cara untuk menyempurnakan pahala setahun puasa ini. Sebagian ulama menganjurkan puasa enam hari di bulan Syawal langsung setelah Idul Fitri, baik secara berurutan maupun selang-seling. Dalam hal ini, seluruh fuqaha dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa ini dibolehkan dan bahkan utama, tanpa ada perbedaan pendapat.
Namun, bagi mereka yang memiliki utang puasa Ramadan karena sakit, safar, hamil, menyusui, atau nifas, terdapat perbedaan pendapat tentang apakah puasa Syawal boleh dilakukan sebelum mengqadha puasa Ramadan.
Hanabilah atau pengikut Imam Ahmad sebagian besar mengharamkan puasa Syawal sebelum menyempurnakan bayar utang puasa Ramadan berdasarkan dalil hadis :
من حديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من صام تطوعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنه لا يقبل منه حتى يصوم”.
“Siapa yang puasa sunnah sedangkan ia berutang Ramadan yang belum dia bayar maka tidak diterima puasa sunnahnya hingga puasa Ramadannya ditunaikan (HR Ahmad).
Riwayat hadis tersebut mengharamkan puasa Syawal sebelum Ramadan terbayar, namun dalam riwayat lain yang dikeluarkan juga oleh Imam Ahmad sebaliknya tidak mengharamkan , seperti dinukil dalam kitab Al-Insab karya Al-Mardawiy yaitu seiring dengan pendapat jumhur ulama.
Adapun pendapat jumhur Malikiyah, Hanafiah dan Syafi’i mereka semua membolehkan puasa Syawal didahulukan, setelah itu qadha Ramadan dengan alasan: Bahwa ayat dalam surah Al-Baqarah yang menjelaskan utang puasa karena safar dan sakit tidak mensyaratkan segera ditunaikan di bulan Syawal, boleh di bulan lain hingga bulan Sya’ban yang berarti melewati bulan Syawal.
Hal ini ditakwil dengan penjelasan Aisyah ra :
وقد روى البخاري ومسلم عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت: ” كان يكون علي الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان”
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Aisyah ra berkata: “Dulu ada utang puasa Ramadan saya, saya tidak dapat membayarnya kecuali di bulan Sya’ban, “.
Jadi pelaksanaan puasa Syawal didahulukan dari bayar utang adalah pendapat terkuat karena didukung oleh sebagian besar murid-murid Imam Ahmad dan jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanafiah.Adapun Syafi’iyah dan Malikiyah membolehkan dengan tambahan status makruh sementara Hanafiah boleh mutlak.Adapun hal menyatukan dua niat ibadah dalam satu perbuatan maka para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:
Al-Malikiyah membolehkan dua niat dalam satu ibadah seperti qadha Ramadan bersama Syawal, puasa Arafah bersama qadha sama seperti mandi junub di hari Jumat bersamaan dengan mandi Jumat, hal ini diungkap dalam kitab Syarh Mukhtashar Khalil juz 2 halaman 241 oleh Al-Badru.
Al-Hanafiah tidak membolehkan qadha bersama Syawal satu niat, ini pendapat Abu Yusuf dalam Badai’ as Shanai’ juz 2 halaman 85, karena niat qadha yang terhitung bukan niat Syawal.Al- Syafi’iyah memandang sah disatukan puasa qadha dan Syawal tetapi tidak dapat pahala sempurna, hanya dapat pahala puasa Syawal tidak terhitung pelaksanaan tersendiri , hal diungkap oleh Al-Bariziy, Al-Ashfuniy, Al-Nasyiriy, Ali bin Sholeh Al-Hadramy, lihat kitab Tuhfatul Muhtaj dan Hawasyi Syarwaniy juz 3 halaman 457.
Al-Hanabilah memakruhkan qadha dan Syawal seperti qodha Ramadhan di awal Zulhijjah seperti diungkap Ibnu Muflih dalam kitab Al-Furu dan Tashih Al-furu juz 1 halaman 114. Ibnu Hazm dalam Al-Muhallah tidak membenarkan menyatukan wajib dengan sunah bahwa dua duanya tidak sah, lihat Al-Muhallah juz 4/103.
Sebab dari adanya perbedaan pendapat furu ini, karena tidak ditemukan naskah hadis yang disepakati shahih bahkan tidak ditemukan naskah dhoif sekalipun, sehingga penetapan hukum berdasar pada kaidah- kaidah fiqih dan kaidah ushul fiqih. Wallahu A’lam.
Irfan Suba Raya
