Tantangan dan Strategi Dakwah di Era VUCA dan Generasi Z

Asnawin Aminuddin
(Komisi Kominfo MUI Sulsel / Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel)

Makassar, muisulsel.or.id – Kita sekarang menghadapi atau sedang berada di era VUCA. VUCA adalah singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Istilah ini diciptakan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus, dua orang pakar ilmu bisnis dan kepemimpinan dari Amerika.
Di era VUCA, kita dihadapkan pada kondisi dimana terjadi perubahan skala besar (volatility), kesulitan melakukan prediksi secara akurat (uncertainty), kerumitan tantangan akibat berbagai faktor yang saling terkait (complexity), dan ketidakjelasan suatu kejadian dengan mata rantai akibatnya (ambiguity) atau yang disebut sebagai kriteria VUCA.
Situasi lingkungan yang hadir serba tidak pasti, fluktuatif, kompleks, sulit diprediksi dan kebenaran realitas bersifat subjektif.
Situasi terus menerus berubah. Era media baru atau new media telah memberi perubahan dalam semua sektor, termasuk pada aspek spiritual dan moral. Situasi ini menuju pada satu kondisi baru yaitu new media, new player, new audience, new content, dan new relations. Aktivitas keagamaan dan relasi sosial, mengalami perubahan drastis melalui media internet.
Tantangan bagi dakwah digital berada pada dua sisi, yatu sisi eksternal dan sisi internal. Di sisi eksternal, ada pada sisi masyarakat yang sebagian masih belum tahu atau belum mau menjangkau dakwah digital, sedangkan secara internal tantangannya ada pada konsistensi, kreativitas, dan kemampuan berdakwah secara digital. (Abdullah Sammy, Republika)
Yang krusial, dalam satu isu yang sama, dapat melahirkan ragam respons yang berbeda, bahkan kontradiktif. Komunikasi dan ‘kopdar’ sangat urgen di era disrupsi, maka perlu penyederhanaan sistem birokrasi dan hierarki pengambilan keputusan “fatwa keagamaan”, terutama pada persoalan-persoalan elementer yang diperlukan secara instant oleh audiens melalui sosial media.
Para da’i online dari beragam latar belakang orientasi keagamaan telah mendominasi algoritmik otoritas keagamaan. Fleksibilitas, efektif, independen, digital ekonomi (skema endorsement, jualan, dan google adsense), politik emosi (materi ceramah), jadi pondasi otoritas keagamaan baru ini. Maka penting adanya kolaborasi para ulama dan otoritas keagamaan dengan media cetak maupun media digital.
Perlu diberikan ruang seluas-luasnya bagi para tokoh agama untuk desiminasi pandangan-pandangan moderasi atau al-wasathiyah di tengah-tengah umat dengan bahasa agama murni, tanpa intervensi narasi politik tertentu.
Juga penting bagi para pegiat media untuk membangun persepsi yang sama tentang ekstremisme atau terorisme atas nama agama, dan mengambil posisi yang tepat di tengah penguatan arus moderasi keberagamaan umat.

Generasi Z

Tantangan baru yang kita hadapi saat ini adalah munculnya Generasi Z atau Gen Z. Gen Z adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok orang yang lahir antara tahun 1996 dan 2012. Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital, di mana teknologi dan media sosial menjadi bagian penting dari kehidupan mereka.
Gen Z adalah generasi yang menyukai interaksi personal, sehingga pendekatan fardiyah perlu diupayakan lebih dari generasi sebelumnya.
Gen Z terbiasa ‘googling’, mencari informasi sendiri melalui internet, sehingga mereka lebih independen dalam memahami suatu ide / isu, dan lebih bebas untuk memilih pro atau kontra terhadap isu tersebut.
Pandangan Gen Z lebih multikultural. Terbiasa melihat dari banyak aspek, sehingga wawasan da’i atas suatu masalah dari beragam sisi juga menjadi keharusan. Gen Z lebih menginginkan pekerjaan yang membawa dampak kebaikan lebih besar, memperhatikan dampak lingkungan (eco-conscious) dan kemanusiaan.
Gen Z cenderung ingin memiliki kemandirian finansial lebih awal dibanding generasi sebelumnya, sehingga pendekatan entrepreneurship perlu dipertimbangkan.
Gen Z lebih sadar diri, percaya diri, dan menghargai perbedaan, baik dalam segi penampilan, maupun pemahaman dan pemikiran, sehingga mereka akan lebih senang jika merasa ‘diakomodasi’ keunikan mereka.
Gen Z lebih ekspresif, dan memiliki cara sendiri dalam mengekspresikan dirinya melalui sosmed. Mereka bisa menjadi member dari berbagai komunitas online, sehingga Gen Z tidak bisa ‘dipaksa’ untuk memiliki satu identitas saja.
Generasi Z memiliki struktur kepribadian yang labil dan mudah galau, sehingga diperlukan gerakan spiritualitas baru (tazkyatun nufus) dalam menghadapi Gen Z.

Fenomena Masyarakat Modern

Tantangan lain yang kita hadapi saat ini yaitu fenomena masyarakat modern. Masyarakat sekarang cenderung individualisme dan personalisasi. Orang-orang di zaman modern lebih menekankan pada “perjalanan spiritual pribadi” dibanding sekadar mengikuti aturan dan dogma keagamaan secara mekanis. Kecenderungan untuk melakukan fatwa shopping (fatwa yang sesuai dengan kebutuhan industri).
Orang-orang modern juga berada pada situasi pluralisme dan toleransi. Adanya akses informasi yang luas membuat masyarakat lebih terbuka terhadap berbagai tradisi dan kepercayaan lain. Orang merasa atau bahkan menggabungkan elemen dari berbagai tradisi keagamaan atau spiritual.
Kemajuan teknologi juga berpengaruh terhadap spiritual orang-orang modern. Media sosial, aplikasi, dan platform online lainnya menyediakan sarana baru untuk praktek spiritual.
Orang-orang sekarang bisa mengakses konten keagamaan dan spiritual dari seluruh dunia, berpartisipasi dalam komunitas online, atau bahkan mengikuti ibadah dan meditasi secara virtual.
Fenomena lain yaitu fleksibilitas ritual. Dalam masyarakat modern, kekakuan dalam menjalankan ritual keagamaan mulai ditinggalkan. Misalnya, beberapa orang memilih untuk bermeditasi sebagai bentuk doa atau mengikuti yoga sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka.
Ada juga yang memilih untuk mengambil elemen dari berbagai tradisi keagamaan atau filosofi untuk menciptakan sistem kepercayaan yang unik dan personal. Mereka mungkin tidak mengidentifikasi diri dengan satu agama atau tradisi secara eksklusif tetapi merasa nyaman mengambil aspek tertentu dari berbagai tradisi.
Orang-orang modern kemudian menyelaraskan dengan ilmu pengetahuan. Beberapa orang mencoba untuk menemukan titik temu antara kepercayaan spiritual dan pemahaman ilmiah. Misalnya, konsep seperti kesadaran, energi, dan keberlanjutan lingkungan, seringkali dibahas dalam konteks yang merangkul, baik keagamaan maupun ilmu pengetahuan.

Strategi Dakwah

Melihat situasi dan kondisi serta tantangan tersebut, maka strategi dakwah yang bisa dilakukan dalam bidang teknologi dan media sosial, yaitu memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan pesan dakwah, membuat konten yang menarik dan relevan dengan generasi Z, serta menyediakan ruang diskusi online untuk menjawab pertanyaan dan memahami kebutuhan individu.
Strategi lain yaitu melalui pendekatan kontekstual, dengan cara memahami kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat VUCA, menyesuaikan pesan dakwah dengan realitas sosial dan budaya setempat, serta menekankan nilai-nilai universal dengan konteks yang relevan.
Kita juga perlu membangun pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama dan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari, serta mengadopsi pendekatan edukatif yang sesuai dengan gaya pembelajaran Generasi Z.
Juga perlu keterlibatan aktif, yaitu melibatkan Generasi Z dalam kegiatan dakwah dan kegiatan sosial yang positif, serta mendorong partisipasi dalam kegiatan kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat.
Hal lain yang bisa dilakukan yaitu melakukan promosi toleransi dan dialog antaragama, dengan cara mendorong dialog terbuka antaragama dan keberagaman, serta menekankan nilai-nilai toleransi dan kerjasama antarumat beragama.
Keterlibatan dengan kesenian dan budaya popular pun perlu dilakukan dengan menggunakan seni dan budaya populer sebagai sarana untuk menyampaikan pesan agama, serta menciptakan karya seni yang merangkul nilai-nilai moral dan etika agama.
Dan terakhir yaitu penguatan karakter dan etika, yakni dengan mengembangkan program pengembangan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai agama, dan menekankan pentingnya etika dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi-strategi ini tentu saja tidak bersifat statis dan perlu disesuaikan dengan perubahan kontekstual dan perkembangan masyarakat. Fleksibilitas dan ketanggapan terhadap dinamika zaman merupakan kunci keberhasilan dakwah di era VUCA dan Generasi Z.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.