FIQIH PUASA: Beberapa Hal yang Mubah Dalam Puasa Ramadhan

Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)

Makassar, muisulsel.or.id – Ketentuan mubah secara defenitif dan istilah diciptakan ulama-ulama ushul fiqih yang berarti berada diantara mandub dan makruh; artinya ditinggalkan tidak dosa dan dikerjakan tidak sunah atau tidak otomatis utama, tetapi dilihat dari sisi faedahnya kalau berfaedah maka pahala mubah berbanding lurus dengan implikasi faedahnya.

Kata mandub atau mustahabbah juga sering ditemui dalam istilah Fiqih Islam, hal ini juga perlu didefinisi agar bisa dipahami.

Menurut para ulama fuqaha setelah wajib itu ada masnunah atau sunnah, ada juga mandub atau mustahabbah yang berarti dianjurkan atau diutamakan.

Para Fuqoha membedakan istilah tersebut dari sisi prioritas pelaksanaan perintah Allah Swt dan rasulNya; setelah wajib itu ada masnunah, dan masnunah yaitu sesuatu yang sering dikerjakan oleh nabi Muhammad Saw dalam keseharian atau sering juga disebut sunnah setelah wajib.Sunnah juga identik dengan mandub dalam arti dianjurkan tetapi Nabi Muhammad Saw tidak sering kerjakan tapi dalam status sunnah juga.

Kata lain dari mandub ini sering disebut mustahabbah atau disukai, diutamakan dan diprioritaskan. Semua peristilahan ini baru muncul diakhir abad ke-3 Hijriyah dan viral di abad ke-4 hingga hari kiamat merupakan bid”ah hasanah dan sunnah hasanah dari sisi arti bahasanya.

Mubah adalah hal yang mengantarai status masnunah/mandub/mustahabbah dengan status makruh.

Dalam bulan suci Ramadan sejumlah amalan yang bila dikerjakan berstatus mubah artinya boleh dan keutamaannya terpulang pada implikasi setelah dikerjakan terhadap hal-hal yang positif.

Diantara hal-hal yang mubah dalam bulan suci Ramadan dapat diurai sebagai berikut :

1. Bila Musafir, itu boleh berbuka puasa dengan mengganti puasa di waktu di luar ramadan bila jarak tempuh lebih dari 89 Km.

2. Dibolehkan bagi orang yang haid dan menyusui untuk mengganti puasa di luar Ramadan apabila puasa jadi kendala kehamilan dan menyusui.

3. Dibolehkan orang tua renta tidak puasa Ramadan dan hukumnya mustahabbah berfidyah sesuai surat al-Baqarah ayat 184.

4. Dibolehkan berbuka puasa bagi orang yang ditimpa kelaparan atau kehausan yang bisa merenggut nyawa dan wajib mengqadha puasa yaitu diganti.

5. Orang dipaksa dengan ancaman sangat bahaya dibolehkan ganti puasa, demikian juga wanita di jima secara paksa, boleh ganti puasa di waktu lain.

6. Para pekerja kasar yang pekerjaannya butuh tenaga kuat sepanjang hari, boleh diganti diwaktu lain dengan catatan ia berbuka puasa bila kecapekan maka boleh diganti di waktu lain.

7. Menolong orang yang celaka seperti orang tenggelam selamatkan, kebakaran dan banjir bandang boleh buka puasa dengan catatan sangat darurat agar tetap vit dan tangguh menolong sesama.

Secara khusus bagi yang darurat berbuka puasa di hari ramadhan disebabkan karena kelelahan, kecapekan, atau karena darurat menolong maka mustahabbah baginya setelah makan dan minum kembali menahan diri dari makan dan minum disisa waktu hingga beduk magrib, ini demi menghargai waktu Ramadan yang harus siangnya tidak boleh berbuka puasa.

Prinsip mubah ini hakekatnya adalah ruang independen dan bebas memilih pada kondisi tertentu bagi yang berpuasa. Karena manusia tetap harus hidup dengan ibadah yang terukur sesuai dengan kemampuan taklif dan ini wujud kasih sayang Allah Swt kepada manusia melalui ruang hukum mubah.

Mubah adalah hukum inovasi dari kaum fuqoha dan ahli ushul yang menjadi syariat Allah Swt agar syariat ini kembali kepada kodratnya yaitu mudah dan memudahkan sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Buisttu bil hanifiatis samhah “Aku diutus dengan agama turun temurun yang penuh hukum tenggang rasa” . Allahu A”lam.

Irfan Suba Raya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
1
MUI MENJAWAB: Silahkan ajukan pertanyaan seputar Islam, akan dijawab Langsung ULAMA dari MUI SULSEL.