Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA (Sekertaris Komisi Fatwa MUI Sulsel)
Makassar,muisulsel.or.id – Puasa Nazar adalah puasa yang hukumnya wajib dilaksanakan bagi yang bernazar, karena merupakan janji yang harus dipenuhi. Nazar juga merupakan janji dihadapan Allah Swt dan sebaik-baik janji adalah di hadapan Allah Swt, lebih-lebih kalau itu dilakukan karena Allah Swt.
Berkenaan dengan hukum bernazar pada puasa dan pada hal lain, perlu dicermati lebih dalam dan akurat.Menurut para ulama fiqih, khususnya al-Hanafiyah, jika seseorang bernazar seperti puasa dan lainnya hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Hal yang dinazarkan sejenis dengan hal yang diwajibkan Allah Swt dalam agama, misalnya bernazar puasa sunnah di hari tertentu, maka wajib atasnya puasa pada hari yang ditentukan tersebut, sementara kalau yang dinazarkan itu harus sejenis dengan yang diwajibkan Allah Swt yaitu puasa Ramadan, atau dengan ibarat lain bahwa bila seorang manusia mewajibkan sesuatu dengan nazar pada dirinya seperti puasa maka nazar seperti ini absah karena Allah Swt telah mewajibkan sebelumnya satu jenis puasa yaitu puasa Ramadan.
2. Perbuatan yang dinazarkan adalah amalan pokok atau hal yang merupakan ketentuan pokok bersifat pelaksanaan rukun wajib, bukan pelaksanaan syarat atau penghalang sesuatu seperti haid. Misalnya seseorang berkata “saya bernazar wudhu untuk shalat, dan saya bernazar baca Qur’an di dalam shalat”, nazar seperti ini tidak terkategori karena yang dinazarkan itu jadi syarat atas pelaksanaan kewajiban lainnya, walau itu tidak dinazarkan, wudhu untuk sholat itu otomatis jadi wajib dilakukan untuk sholat karena syarat wajib sahnya shalat adalah wudhu.Demikian juga ucapan seseorang seperti “saya bernazar tidak makan dan minum selama puasa, maka nazar ini tidak absah karena tidak makan dan minum merupakan bagian dari syarat terlaksananya puasa bagi manusia.
3. Tidak bernazar melakukan kewajiban utama dari Allah Swt seperti shalat, puasa Ramadan dan haji karena ini merupakan kewajiban dari Allah Swt pada manusia yang tidak perlu lagi dinazarkan untuk jadi kewajiban disebabkan janji dalam diri mewajibkan hal itu pada diri sendiri karena hal-hal seperti ini sudah diwajibkan Allah Swt sebelumnya,jadi mewajibkan sesuatu yang telah diwajibkan Allah Swt tidak terkategori nazar.
4. Tidak bernazar dengan suatu hal yang mustahil dilakukan sperti “saya nazarkan puasa yang kemarin saya lakukan itu untuk keperluan ini atau itu” atau contoh lain “saya nazarkan puasa Senin dan Kamis yang lalu untuk kesehatanku”.
5. Dibolehkan bernazar itikaf, shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah, memotong binatang karena terdapat jenis-jenis perbuatan itu yang diwajibkan Allah Swt seperti itikaf di masjid karena ada kewajiban memakmurkan masjid bagi kaum muslimin dan ada kewajiban merawat dan membina bagi kaum muslim kecuali uzur dan lupa.
Puasa nazar dibolehkan karena sejenis puasa Ramadan, nazar memotong binatang untuk syukuri nikmat karena sejenis dengan pelaksanaan kurban, nazar shalat sunnah karena sejenis dengan shalat wajib, nazar menghajikan orang lain juga dibolehkan karena sejenis dengan kewajiban haji untuk diri sendiri.
Jika yang dinazarkan sesuatu yang hukumnya bersyarat ,maka bila syarat sudah terpenuhi wajib hukumnya dilaksanakan, karena nazar itu janji dan melaksanakan janji nazar wajib seperti surah al-Hajj ayat 28, perihal seperti ini banyak terjadi.Contohnya “jika saya diberi anak laki-laki maka saya akan memberi makan 10 fakir miskin, jika saya gajian maka saya puasa sehari, jika saya lulus ujian saya akan kenduri memberi makan orang yang kelaparan”.
Ulama Hanafiyah kecuali Zufar menganjurkan bahwa dalam nazar sebaiknya tidak usah rinci dan persempit diri cukup dengan nazar yang luwes, contohnya “bila saya lulus saya akan shalat sunnah empat rakaat 2 kali salam” tidak usah ditentukan tempatnya di Makkah atau Madinah, dan tidak usah ditentukan waktunya bulan Ramadan atau bulan-bulan Haram.Apabila Nazar tidak dilaksanakan maka seorang muslim harus bayar kafarat sumpah.
Nazar ini walau hanya dibolehkan dan tidak dianjurkan maupun diperintahkan Allah Swt adalah bagian dari hukum Islam yang sifatnya memberi keluwesan pada para pejuang ketaatan dan keteguhan untuk membuktikan dirinya dihadapan Allah Swt dan pada dirinya bahwa mereka itu orang-orang yang teguh bukan orang lalai dan tidak bermujahadah .Wallahu A’lam.
Irfan Suba Raya