MUI Sulsel menjawab – Assalamu ‘alaykum Warohmatullahi Wabarakatuh. Saya ingin menanyakan perihal tentang banyak pertentangan pendapat masalah hilafiyah. Contoh ada yang membolehkan membaca lafadz niat. Ada yang membid’ahkan. Contoh lain. Masalah pakaian wanita. Katanya pakaian hijab itu adalah budaya Arab. Kita bangsa Indonesia ada budaya pakaian tersendiri. Pakailah pakaian sesuai budaya kita sendiri, dll. Dengan banyaknya muncul pendapat seperti ini. Apakah merupakan tanda akhir zaman atau bagaimana. Karena setuap pendapat tokoh, ada pengikutnya dsb. Terimakasih.
Oleh warga 085977299XX
Jawaban Komisi Fatwa MUI Sulsel:
Islam adalah pedoman hidup yang harus dipelajari dan dipahami untuk diamalkan dalam kehidupan duniawi. Ketika agama ini sempurna bersama al-Qur‘an dan dijelaskan oleh hadis atau sunnah Rasulullah SAW, maka kewajiban pemahaman selanjutnya ada di tangan para ulama, mulai dari generasi sahabat sampai generasi ulama masa kini.
Dengan kualitas akal dan kapasitas keilmuan yang tidak sama, pasti akan lahir hasil analisis dan pemikiran yang berbeda di kalangan muslimin. Inilah yang disebut ikhtilaf dalam tataran pemikiran keagamaan dalam Islam.
Namun, Islam tidak membiarkan ikhtilaf boleh terjadi tanpa batas, dalam arti setiap orang bebas memahami dan menjelaskan ajaran berdasarkan selera dan kemampuan akalnya belaka. Dengan demikian kesepakatan ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (masa kini), hanya orang-orang yang berderajat mujtahid yang memiliki otoritas untuk ber-ikhtilaf (berbeda).
Tidak semua ulama bisa diakui sebagai mujtahid, kecuali harus memiliki syarat-syarat ijtihad. Di samping akidah dan syariah yang benar dan kuat, ada beberapa alat dan cabang ilmu yang harus dikuasai secara mumpuni.
Syarat-syarat ijtihad yang membolehkan ikhtilaf telah ditetapkan, namun kanyataannya selalu ada ikhtilaf yang terpuji dan bermanfaat dan ada pula yang tercela membawa mudarat, yang terjadi di berbagai masa dan tempat.
Dalam konteks inilah, ulama yang berpotensi ber-ikhtilaf harus menahan diri dan berhati-hati, tidak seharusnya mengeluarkan pendapat tanpa ilmu yang mumpuni dan komit kepada etika ikhtilaf yang diajarkan oleh Nabi dan dijunjung tinggi oleh sahabat, tabi‘in, dan tabi‘ al-tabi‘in.
Ikhtilaf dan perbedaan pendapat serta pemikiran sudah terjadi sejak zaman Nabi, terus berlanjut dari generasi ke generasi, sampai masa kini. Maka umat harus bijak, berhati-hati, dan selektif menghadapi hasil ikhtilaf dan perbedaan pendapat yang terus terjadi.
Masalah ikhtilaf memahami tafsiran naskah sudah ada sejak zaman sahabat pasca wafatnya Nabi, dan itu boleh saja selama tidak keluar dari makna syariatnya atau makna perintah dan larangan pada dalil-dalil yang ada, pendapat yang ada bisa diterima bila berlandas pada pemahaman benar dalil dan ditafsirkan ulama yang memiliki keahlian istinbath hukum, pendapat yg tidak bisa diterima adalah tendensius berdasar pada tafsiran yang tidak lazim di kalangan para ulama, jadi standarnya pendapat itu bisa diterima atau tidak adalah penilaian sebagian besar ulama (jumhur), karena Nabi
“لا تجتمع أمتي على ضلالة”. رواه ابن ماجه
Umatku tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan.
Mengenai banyaknya perbedaan pendapat zaman sekarang ini pada masalah furuiyyah (bukan hal yang prinsipil) itu bisa dieleminir bila dipertanyaakan pada yg berkompeten menjawab seperti MUI di beberapa tingkatannya, setiap kali ada urusan yang kisruh Allah selalu mengutus ulama menyelesaikannya jadi umat ini tetap akan terjaga sepanjang masa. (*)